T(el)epati!
Ruang sempit-kota-kota, kertas-tiket, otak-pesawat tercanggih, pena
adalah langkah-langkah kaki menuju kota yang akan kau katakan padaku “rindu”,
aku mengangguk, aku tahu. Kita setuju.
Kunjunganku kali ini bukan yang pertama. Tanpa kau tahu, aku sering ke
kotamu sendiri. Sore itu, aku memencet bel kontrakanmu. Tampaknya kau tidak di
sana, temanmu yang membukakan pintu terheran-heran.
“Arief.”
“Sedang keluar, siapa ya?”
“Sepupu.”
“Sebentar ya, saya telepon dia dulu.”
Raut wajahmu tampak dari kejauhan, terbengong menerima telepon.
Bergegas pulang mengendarai motor (sendiri tanpa boncengan, aku—tanpa cemburu).
Melihatku di depan rumah kau semakin bengong.
“Kok bisa? Kok bisa?” sinyal kata-kata itu kutangkap dari wajahmu, kau
tersenyum.
“Sudah lama sampai? Tahu alamat dari mana? Ke sini naik apa?”
“Aku haus, boleh minta minum?”
Kau kembali dengan segelas air.
“Ada apa ke sini?”
Kau tahu aku mengacuhkanmu.
“Udah sore, mau nginap dimana?”
“Nggak tahu.”
“Terus?”
“Ya nggak tahu, mau gimana?”
“Ya sudah, kau tidur di kamarku saja. Aku... ah gampanglah.”
Kau mengantarku ke kamar. Kutemukan bantal klub sepakbola kegemaranmu
yang tampaknya sudah tidak empuk lagi di atas tempat tidur, di pojok sebelah
kanan. Kusapu lagi pandanganku pada meja itu, di sela susunan buku kutemukan
catatan gajah ungu mungil, catatan harianku yang kutulis untukmu—dulu sekali.
“Silakan istirahat, pintunya di kunci ya!” kau keluar dan menutup pintu
dengan membawa satu bantal.
Tak ada niat mengacuhkan dan malas menjawab pertanyaanmu. Bukankah dulu
kau mengatakan punya telepati? Sejak awal kedatanganku, pertanyaanmu sudah
kujawab lewat sinyal-sinyal itu. Aku lelah, haus, dan meminta segelas air
padamu. Lalu mengapa kau mengeroyokku dengan pertanyaan-pertanyaan?
“Sudah lama sampai? Tahu alamat dari mana? Ke sini naik apa?”
Kukira kau masih memilikinya sehingga hanya perlu menyambungkan sinyal
dari kepalaku.
Ruang sempit-kota-kota, kertas-tiket, otak-pesawat tercanggih, pena
adalah langkah-langkah kaki. Aku terkurung di ruang sempit dengan pena dan helaian kertas, tanpa tahu
alamat di kotamu. Aku hanya mencari alamat hatimu untuk memastikan posisiku
masih di tempat yang sama atau tidak. Terkadang mengunjungimu tak perlu uang
bagiku.
“Telepati,” katamu.
“Ada apa ke sini?”
Kukira kau masih memilikinya sehingga hanya perlu menyambungkan sinyal
dari kepalaku.
“Untuk mengangguk ketika kau katakan “rindu” pada kota ini. Kita
setuju.”
“Sudah sore, mau nginap dimana?”
Lagi-lagi duniaku
hanya tentang ruang sempit.
Kukira kau masih memilikinya sehingga hanya perlu menyambungkan sinyal
dari kepalaku.
“Telepati,” katamu (dulu).
Bullshit, kau bahkan masih mengeroyokku dengan pertanyaan. Bukankah kau hanya perlu
menyalakan tombol on dan mencari sinyal yang frekuensinya sama denganku? Dulu, kau
juga masih menggunakan telepon untuk menghubungiku. Mungkin hanya aku yang bisa
menerima sinyal, tapi kau tidak.
Dari kejauhan, kulihat kau di bawah gerimis malam minggu membonceng
gadis dengan mesra—tangannya di pinggangmu. Kalian bercerita hal konyol, janji
manis, dan kisah masa depan—seperti yang dulu sering kita lakukan.
Aku mengirim sinyal amarah merah menyala, tapi selalu gagal. Kukira kau
masih memilikinya sehingga hanya perlu menyambungkan sinyal dari kepalaku.
Telepati itu bullshit kataku
berulangkali. Kukirim cerita ini karena ku tahu telepati hanya leluconmu. Tapi
tentang semua janji
Tepati!
Pontianak, 18 Maret 2016
Comments
Post a Comment