SELENDANG DARA TERIGAS
Nama: Siwi Annisa
No. HP: 089693984507
SELENDANG
DARA TERIGAS
Beberapa
bulan ini, kau sering melamun di atas peranginan depan istana yang menghadap
sungai bercabang tiga, Muara Ulakan. Hari ini kau juga melewatkan sore di tepian
sungai. Sesekali kau turun dan duduk di tupakan
tangga yang basah oleh air. Kau membelai air seperti membelai baju Melayumu.
Jemari yang lentik itu telah kau tenggelamkan, merasakan nikmatnya air yang
melintasi pori-pori kulitmu. Lengan bajumu ikut basah, kau menyunggingkan
senyum. Kau masih ingin bermain, mengangkat songketmu
sampai betis dan mengayunkan kakimu yang mulus itu dalam air. Senyummu semakin
mengembang ketika air-air itu menyegarkan pori-pori kulitmu. Semua itu cukup
menghapus kesedihan yang hanya dipahami hatimu dan kau tak akan pulang sampai
senja benar-benar tiba.
Ibumu
telah menyambut di depan lawang, membawakanmu kain agar kau mengganti songketmu yang hampir basah dari sisa-sisa
air di kakimu. Tampaknya ia sudah hafal dengan kebiasaan barumu menikmati bahari muara ulakan yang sebelumnya tak
separah ini. Membiarkanmu memeluknya lama dengan linangan air mata yang mengucur
duka. Tanpa isak, kau menyelesaikan tangisanmu dengan anggun karena kau tahu,
apabila ayahmu mendengarnya, ia akan melarangmu ke sungai lagi, dan kau
diperintahnya untuk bepalam, karena dua minggu lagi kau akan dikawinkan
dengan sultan sebagai selir ketiga.
Sore
ini kau berjalan sendiri di gerbang istana, mengenakan baju Melayu kuning emas yang
sepadan dengan songket dan selendangmu. Dalam selendang, sanggulan rambutmu
yang hitam itu kau tata dengan kemas. Sebenarnya aku tahu, siapa yang selama
ini kau cari. Kau telusuri tepian sungai berharap-harap cemas agar ia tiba dari
hulu sungai Subah dengan kapal kuningnya, seperti yang selalu orang katakan,
dia membangun kerajaan di hulu sungai. Hatimu bergejolak hendak keluar dari
keratuan ini, mencari sepupumu yang tidak lain tidak bukan adalah kekasih yang
tak direstui ayahmu. Kau dan dia masih sepupu, walau tak sesusu tak sedarah,
ayahmu dan ayahnya enggan jodoh yang terlalu dekat.
Setelah
kehilangannya setahun lalu, sampai kini kau masih berwajah duka. Sandi namanya,
aku tahu dari abangku sebelum dia lenyap dari dunia yang sama denganmu.
Sebenarnya dia sedang bersamaku memperhatikanmu dari istana kami. Bukan seperti
yang orang ceritakan, membangun kerajaan di hulu sungai. Tapi, ia menyerahkan
dirinya pada abangku di Negeri Kebenaran
yang dikunjunginya di Paloh beberapa waktu lalu tanpa sengaja. Abangku
memperlihatkan dalam mata Sandi, sebuah negeri yang terlampau maju dengan pusat
keramaian yang melebihi Sambas tempatnya bernaung. Sandi terpukau dengan
dermaga dan bandar udara yang sibuk dan pasar yang ramai di negeri itu. Abangku
pun mengajaknya berkenalan, dan memberinya kartu nama agar mudah dicari.
“Datanglah
ke sini, insanak, jika kau ingin
menghibur dirimu dari urusan kerajaan di sana, negeri ini akan terbuka untukmu
kapanpun, kartu nama ini hanya berfungsi ketika kau sudah mendekati wilayah
ini,” begitu kata abangku.
“Terima
kasih, saya pasti akan ke sini lagi,” kata Sandi dengan wajah takjub.
Ketika
niat Sandi mengawinimu ditolak mentah-mentah oleh ayahmu dan ayahnya, juga ketika
ayahmu menyabdakan kau akan dikawinkan dengan sultan berbini tiga, semua itu
membuat hati Sandi retak seribu. Ia sempat jatuh sakit karena dilanda patah
hati. Sebulan setelah kejadian itu, ia pamit kepada ayahnya untuk menenangkan
diri di hulu sungai Subah, padahal sebenarnya yang terjadi ia mencari abangku
di Negeri Kebenaran.
Tak
perlu waktu lama, abangku mewujudkan negerinya dalam mata Sandi untuk yang
kedua kali. Dengan hati yang patah, Sandi mengatakan ingin tinggal di negeri
itu selamanya. Ia tak sanggup melihat Dewi Kusuma, yang kutahu bahwa itulah namamu,
akan menikah sebagai selir ketiga sultan. Abangku mengizinkannya tinggal di
negeri kami, tapi dengan syarat Sandi tak akan bisa kembali ke kerajaannya
dahulu. Hati Sandi terlalu berderai, ia mengiyakan syarat abangku tanpa pikir
panjang. Semula ia terpukau memasuki negeri kami. Tapi, beberapa saat setelah
itu, ia menyadari bahwa di antara kami tidak ada yang memiliki garis antara
hidung dan bibir seperti manusia biasa. Kami memiliki alis yang bertemu, dan
telinga yang jenjeng. Sandi perlahan
paham, bahwa kerajaan yang sekarang dimasukinya, bukanlah kerajaan manusia
seperti ia dahulu. Nasi sudah menjadi bubur, semenjak ia menyetujui syarat dari
abangku, ia tidak akan bisa kembali menjadi manusia biasa.
Kau
tak tahu, Sandi di sini membiasakan diri melupakanmu walau dengan hati yang
berat. Abangku sengaja memberinya tampuk kerajaan sebagai panglima agar tidak
terlalu memikirkanmu lagi. Tapi, diam-diam aku jatuh cinta padanya karena dia
begitu mencintaimu. Dia sering bercerita tentangmu, itu membuatku ingin
dicintai seperti Sandi mencintaimu, Dewi. Aku cemburu pada kegadismelayuanmu,
yang membuat Sandi tak bisa melupakanmu barang sedetik pun. Tutur katamu, baju
Melayumu, langkahmu, dan garis antara hidung dan bibirmu, yang tak kami miliki
membuatku iri sekaligus cemburu.
Kau
sepertinya masih berharap Sandi akan pulang dengan kapal kuning dari hulu
sungai, lalu membawamu untuk hidup bersama. Terlalu menyiksa diri, Dewi.
Bukankah kau sebentar lagi akan dikawinkan dengan sultan tua bangka itu?
Langit
terigas seminggu ini sering menangis, masyarakat tidak dapat bercocok tanam dan
panen gagal karena hujan tiada berhenti. Sebagian masyarakat meminta bantuan ke
keratuan. Kulihat kau sudah dalam masa bepalam
dan tidak akan keluar dari wilayah istana. Aku sengaja mengajak Sandi berjalan
mendekati keratuan karena aku ingin tahu banyak tentang wilayah kerajaannya
dahulu dan membiarkan beberapa orang mengenali Sandi telah berjalan dengan
gadis lain agar nanti terdengar olehmu.
Dugaanku
tak pernah salah, secepat mengedipkan mata, desas-desus Sandi telah menikah
dengan gadis lain telah menjamur di lingkungan para dayangmu. Kau mendengar mereka
bercengkrama ketika mengantar makan minum. Aku tahu, hatimu hancur melebur
seumpama bubur. Aku hanya ingin membantumu, Dewi, agar kau menerima kenyataan.
Kau akan menikah beberapa hari lagi dan Sandi tak akan kembali seperti dahulu.
Tak
kusangka, kau begitu pilu setelah mendengar desas-desus itu. Kau tak berani
mencari tahu siapa yang melihat kami. Satu dayangmu yang sudah lama mengabdi
pada kerajaan menyadari kehadiranku dan Sandi waktu itu. Ia mengatakan
kepadamu, bahwa Sandi telah bersatu dengan insanak, kaum bunian, bangsa kami.
Dayangmu menjelaskan bahwa Sandi telah berbeda alam denganmu.
Kau
semakin penasaran dan bertanya panjang lebar tantang bangsa kami pada dayangmu
serta cara mengembalikan Sandi yang tidak diyakini berhasil. Negeri Kebenaran, kerajaan
kami masih memiliki jalur dari Muara Ulakan depan keratuanmu, semua jalur itu
dibangun untuk menjaga Bumi Terigas dari kehancuran. Kaummu dan kaumku tak akan
saling mengganggu satu sama lain sesuai perjanjian sultan-sultan terdahulu.
Bangsamu dan bangsaku telah ribuan tahun menjalin hubungan baik demi kemakmuran
negeri nyatamu itu.
Beberapa
menit yang lalu, kulihat kau masih berbaju Melayu kuning emas lengkap dengan
selendangnya. Kau tergugu di depan muara cabang tiga sungai. Tapi, setelah
beberapa saat kualihkan pandangan, rakyatmu sudah memenuhi peranginan. Terlihat
selendang kuning emasmu perlahan tenggelam masuk dalam pusaran Muara Ulakan.
Apakah kau akan mengikuti jejak Sandi? Apakah kau akan menyerahkan dirimu pada
Negeri Kebenaran juga? Tapi kulihat di sana kau sedang berjalan di samping
Sandi dengan bahagia. Baru kusadari kau telah menukar Sandiku dengan selendang
dara terigas dari leluhurmu. Pusaran air pun semakin cepat menggulung selendang
itu bersamaan dengan air mata langit yang turun deras membasahi istanamu.
Begitu pula dengan airmataku, aku patah hati, Dewi.
Keterangan:
Tupakan : Undakan tangga
Songket : Kain tenun
Bahari :
Sore
Bepalam : Mengurung diri/pingitan
Negeri
Kebenaran :
Negeri Kaum Bunian/Negeri Ghaib
Insanak : Keluarga/ masih
memiliki hubungan kekerabatan
Jenjeng :
Daun telinga yang terlalu lebar dan panjang
Sambas (2015)
Biodata Penulis
Siwi
Annisa adalah anak pertama dari lima bersaudara lahir pada 31 Agustus 1995 di Sambas.
Sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Tanjungpura Pontianak
program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Comments
Post a Comment