Membaca untuk Bahagia


Membaca untuk Bahagia
Today a reader, tomorrow a leader –Margaret Fuller


Membaca sebenarnya merupakan hal pokok bagi setiap manusia seperti makan dan minum. Membaca adalah asupan bagi wawasan dan pikiran. Tanpa membaca, manusia selalu lapar dan dahaga akan hiburan, informasi, dan pengetahuan. Beberapa orang bahkan menganggap membaca adalah sebuah rekreasi yang menyenangkan dari rutinitas yang sungguh menjenuhkan.
Jika dikuliti satu persatu, manfaat membaca sungguh sangat banyak. Tak ayal, orang mengategorikan manfaat membaca secara umum saja sesuai dengan kebutuhan si pembaca. Jika membaca cerita nabi dan dongeng-dongeng dimaksudkan untuk anak-anak, maka diibaratkan seperti memberi gizi susu kepada mereka karena itulah yang sedang mereka butuhkan. Jika membaca dimaksudkan untuk menambah pengetahuan, seperti pelajar membaca buku atau modul  maka membaca seperti itu ibarat makan nasi, kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Jika membaca dimaksudkan untuk menunjang profesi seperti guru membaca buku-buku metode dalam mengajar, itu diibaratkan seperti multivitamin yang dibutuhkan untuk menunjang kesehatan. Nah, begitu pula dengan membaca cerita-cerita ringan dapat diibaratkan seperti kita makan bakso, mpek-mpek, dan mie ayam yang juga dibutuhkan sebagai selingan makanan pokok. Perumpamaan-perumpamaan itu dapat disesuaikan dengan kebutuhan kita sebagai pembaca.
Pengetahuan seseorang akan sangat bergantung pada seberapa banyak buku yang telah dibacanya. Semakin banyak orang membaca buku maka semakin luas wawasan dan pemikirannya. Argumen-argumen dan alasan yang dikemukakan ketika berbicara akan penuh pertimbangan jika orang tersebut memiliki banyak pengalaman membaca. Begitu pula dengan penulis. Membaca bagi penulis ibarat amunisi dalam senjata yang harus selalu diisi agar apa yang ingin ditulis benar-benar terkupas dan tersampaikan dengan baik.
Lain harapan, lain pula kenyataan. Di Indonesia, kebutuhan manusia akan membaca sangat kurang. Kewajiban membaca buku selain buku pelajaran bagi siswa tidak digalakkan. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan  oleh Central Connecticut State University pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat 60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Sungguh sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, Indonesia harus mulai berbenah dalam meningkatkan minat baca apalagi bagi anak-anak dan remaja.
Pembenahan minat baca mulai digalakkan di lingkungan akademik sejalan dengan penerapan Kurikulum 2013 yang baru berjalan beberapa tahun ini. Namun, program literasi sekolah seperti itu tidak akan berjalan dengan baik apabila guru sebagai fasilitator juga tidak doyan membaca. Diperlukan kesadaran guru yang menerapkan program literasi di sekolah untuk mencintai buku-buku. Tidak akan efektif waktu lima belas menit jika siswa hanya diminta membawa buku yang digemarinya selain buku pelajaran ke sekolah, kemudian mereka disuruh membaca dalam waktu sesingkat itu dan mencatat apa yang telah dibacanya dari halaman sekian sampai sekian. Saya kira hal seperti itu adalah hal yang menjenuhkan sama saja dengan mengerjakan tugas meringkas isi buku.
Guru seharusnya lebih kreatif dalam merangsang minat baca anak. Waktu singkat lima belas menit itu dapat digunakan guru untuk membuat jiwa mereka meronta untuk membaca dan melahap cerita. Guru dapat memberikan rasa penasaran dengan menyampaikan cerita yang terpotong sehingga siswa sendiri yang akan mencari dan membaca sendiri cerita tersebut dengan memanfaatkan media digital yang sedang marak saat ini. Mereka akan mencari karena rasa ingin tahu (curiousity) yang sedang meronta. Hal tersebutlah yang kita butuhkan untuk merangsang minat baca siswa. Tindak lanjut guru sebagai fasilitator juga dapat mengkreasikan pohon literasi di kelas yang berisi jurnal membaca akan memberikan kesan apresiatif guru kepada siswa. Selain itu, bagi siswa SMP dan SMA yang sudah dipercayai orang tuanya mengendalikan gawai, guru harusnya mampu lebih kreatif dalam membimbing siswa. Guru dapat membentuk grup Facebook atau WhatsApp untuk memberikan satu atau dua pertanyaan singkat dan mendiskusikan bahan bacaan yang baik bagi mereka. Saya kira itu akan lebih mengasyikkan.
Sebenarnya dalam membaca yang terpenting adalah rasa bahagia, bahagia melihat buku-buku yang akan disantap ilmunya. Bahagia menyerap kata-kata yang belum pernah kita dengar, lalu dengan membaca kita menjadi tahu dan kita gunakan kembali. Sebagai guru dan relawan baca di dusun, saya mengibaratkan membaca adalah sebuah hadiah yang perlu disyukuri dan tak boleh dilewatkan.
Di sekolah, sebagai guru bahasa Indonesia saya merasa merangsang minat baca siswa adalah tanggung jawab saya. Biasanya, setelah menyelesaikan kompetensi dasar dengan evaluasi pembelajaran, saya akan memberikan mereka hadiah dengan membuka lapak buku di kelas hingga jam pelajaran berakhir yang tentunya bacaan mereka tidak akan terselesaikan. Rasa ingin tahu (curiousity) akan membuat mereka ingin menyelesaikan cerita tersebut dan hal itu tidak boleh dihalangi. Hal tersebut dapat diatasi dengan meminjamkan buku kepada mereka atau menganjurkan mereka datang ke pondok baca saya, yaitu Pondok Pak Saloy.
Di dusun, sebagai pendiri pondok baca, yaitu Pondok Pak Saloy, saya tergugah karena anak-anak di dusun mengisi waktu hanya dengan bermain. Menurut saya alangkah lebih baik jika mereka membagi waktunya bermain sambil belajar karena suatu saat mereka akan beranjak menjadi remaja dan generasi muda bahkan pemimpin yang harus punya  pengetahuan dan wawasan yang luas. Hal tersebut membuat saya terketuk agar mereka tertarik  untuk membaca. Dengan menyediakan buku-buku bacaan dan selingan bercerita, saya kira itu adalah cara memberikan  suntikan-suntikan agar mereka membaca. Selain bermanfaat, membaca sama halnya dengan bermain tanpa beban. Dalam bahasa yang sederhana, sebenarnya membaca adalah untuk bahagia.


Along Siwi
Guru dan Relawan Baca

Comments

Popular Posts