Analisis Novel Kuncup Berseri


Judul Novel     : Kuncup Berseri
Karya              : Nurhayati Sri Hardini (Nh. Dini)
Angkatan        : 66
Sinopsis:
Novel Kuncup Berseri menceritakan tentang tokoh Aku atau pengarang Nh. Dini yang mulai tumbuh menjadi remaja. Dia menceritakan tentang perjalanan hidupnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai anak seorang janda tanpa santunan, pada saat itu bakat seninya berkembang, sehingga dia mulai menulis cerita pendek dan naskah sandiwara radio. Dini juga mulai giat berkecimpung dalam bidang sandiwara (teater) serta kesenian tradisional.
Latar Belakang:
‘Kuncup Berseri’ adalah buku kelima dari seri ‘Cerita Kenangan’. Latar belakang buku ini adalah segala yang dikerjakan diperuntukkan bagi kemanusiaan, di dalam buku ini Dini menceritakan pengalaman hidupnya ketika SMA dan kesenangannya terhadap dunia kepenulisan, sehingga Dini berharap buku ini bermanfaat bagi kemanusiaan.
Aliran              : Realisme
Unsur Intrinsik:
1.      Tokoh  :
a.       Aku (Dini) (Teguh hati, memiliki keyakinan, sopan)
Aku menyadari bahwa beberapa di antara mereka berusaha mempengaruhiku. Tetapi dengan gigih aku berteguh hati, mengikuti keyakinanku sendiri (Dini,1998: 3)
Apabila ada perdebatan pendapat antara kakak-kakakku dan aku sendiri, dengan berani aku berteguh pada pendirianku. Aku tidak lagi sudi dianggap sebagai anak kecil yang gampang diinjak kakinya maupun diabaikan kehadirannya (Dini,1998: 12)
Demikianlah pula dengan sopan aku mampu membawa diri bagaimana dating di rumah orang. Sesuai dengan tata cara bertamu, aku selalu membawa oleh-oleh (Dini, 1998: 3)
b.      Ayah (suka menasehati)
Ayah kami sering mengulangi perkataannya, bahwa semua yang kami kerjakan terutama diperuntukkan bagi kemanusiaan (Dini, 1998: 1)
c.       Ibu (dermawan dan berpikiran terbuka)
Latihan sandiwara, paling sering diadakan di rumah kami. Sekali lagi Ibu menjadi penyuguh paling dermawan. Untuk kesekian kalinya pula Ibu menunjukkan betapa luas pikirannya (Dini, 1998: 5).
Sebagai orag yang berakal dan berpendidikan menurut tradisi, aku beruntung memiliki ibu dan paman yang berpikiran terbuka, bicara terang namun dilingkupi kehalusan kata-kata serta sikap (Dini, 1998: 9).
d.      Teguh ( Pelupa dan sombong)
Teguh sudah berangkat ke Surabaya waktu itu. Di dalam suratnya mengatakan akan mengikutinya pula. Aku tidak begitu mengharapkan, karena kecuali sifat kakakkuyang pelupa, juga tergantung kepada keadaan cuaca (Dini, 1998: 6).
Tiba-tiba aku sadar, bahwa kakakku yang satu ini seringkali bersikap sombong. Dari saat itu, aku dapat memastikan bahwa dia semakin besar kepala (Dini, 1998: 44).
e.       Heratih (penakut)
“Iiiiiih, Bulu kudukku jadi berdiri! Sekarang aku takut melalui pintu tengah,” kata Heratih menambahkan
“Siapa tahu dia sedang tiduran di situ, tanpa setahu kita, kita menginjaknya? Apalagi kalau dia anjing atau binatang lain! Ternyata berjalan dengan empat kaki. Biasanya kaki atau ekor yang  terinjak!’’
Dengan khayalan yang menjadi-jadi seperti itu kakakku semakin mengkahwatirkan (Dini, 1998; 46).
f.        Maryam (penuh kewaspadaan)
Maryam tinggal bersaa mertuanya di Randusari. Ketika berkunjung, dia mengingakan ucapan tetangga-tetangga yang sering mengira kami memiliki seekor anjing besar (Dini, 1998: 47)
g.      Edi (peka perasaan, agak pendiam)
Seandainya seorang manusia, dia memanglah seperti pamanku; laki-laki yang diam, tetapi ramah dan mengerti (Dini, 1998: 66).
h.      Asti (penuh semangat)
Suara Asti penuh semangat, menyambung pedapat kakaknya (Dini, 1998: 68)
i.        Wadi ( selalu terbuka dengan tokoh Aku)
Wadi dalam bahasa Jawa dapat diartikan rahasia. Namun bagiku, ia selalu terbukahatinya. Selalu menceritakan kepadaku dalam hal percintaan (Dini, 1998: 7).
j.        Roostiati (lemah lembut dan sopan)
Roostiati yang lemah lembut bicaranya memegang peranan sebagai seorang ibu (Dini, 1998:6)
Dengan caranya yang sopan, Roostiati menyalami kakakku (Dini, 1998: 86)
k.      Ninik
l.        Nuning
m.    Paman Sarosa (berpikiran terbuka)
Sebagai orag yang berakal dan berpendidikan menurut tradisi, aku beruntung memiliki ibu dan paman yang berpikiran terbuka, bicara terang namun dilingkupi kehalusan kata-kata serta sikap (Dini, 1998: 9).
n.      Paman Subyakta (pelit)

o.      Guru bahasa Jawa Kuno
p.      Guru bahasa Perancis
q.      Guru bahasa Jerman
r.        Durry
s.       Ajip Rosidi (sungguh-sungguh dan lebih dewasa)
Lalu di lain waktu diam, tekun membicarakan sesuatu dengan kesungguhan yang khusuk. Dalam beberapa hal praktis jauh lebih dewasa dan nalar daripadaku. Pada waktu demikian, dia menjadi suara kesadaranku. Nama pengarang muda itu Ajip Rosidi (Dini, 1998: 69).

t.        Mas Dar (penuh perhatian)
Yang mengerumuninya menyisih, membiarkan Mas Dar menyentuh dan meraba anggota badan kakakku. Kelihatannya dia mengetahui cara-cara pertolongan pertama pada kecelakaan.

2.      Latar
a.       Latar Waktu    :
1)      Sore hari
“Sore demikian Ibu seringkali duduk di tempatnya, di amben ruang makan, sambil merokok tembakau-cengkih-klembak yang digulung sendiri” (Dini, 1998: 5)
2)      Di siang hari, Edi membawaku ke meninjau daerah Menteng, lalu melebar ke daerah sekitar, ke jalan-jalan lain (Dini, 1998:64)
3)      Siang sebelum terjadi, kutunjukkan naskah Si Rangka kepada Teguh, (Dini, 1998: 74)
4)      Sore ituaku dudukmdi anak tangga di pinggir latar. Sambil antri mandi, aku menghadang sekedar angin yang masuk ke lingkungan rumah kami (Dini, 1998: 75)

b.      Latar Tempat   :
1)      Di ruang makan (rumah)
“Sore demikian Ibu seringkali duduk di tempatnya, di amben ruang makan, sambil merokok tembakau-cengkih-klembak yang digulung sendiri” (Dini,1998: 5)
2)      Sekolah Menengah Atas Bagian Sastra terletak di jalan Bojong. Gedung halaman Nampak megah; terdiri dari bangunan induk di tengah, diapit oleh kelas-kelas yang memanjang di sebelah kiri, kanan, dan belakang
3)      Teguh mengantarkan aku ke stasiun. Kesempatan berdua itu kupergunakan untuk mencari keterangan mengenai keputusan perbincangan bersama Ibu (Dini, 1998: 59)
4)      Di siang hari, Edi membawaku ke meninjau daerah Menteng, lalu melebar ke daerah sekitar, ke jalan-jalan lain (Dini, 1998:64)
5)      Kami berdiri di pinggir sawah. Di bawah terbentang luasan yang terbuka (Dini,1998:65)
c.       Latar Suasana  :
1)      Dimulai dari waktu itulah, selam empat atau lima hari setiap bulan aku merasa bagaikan seseorang yang paling merana di dunia ini.
2)      Sepupuku mengatakan apa yang tertera di dalam hatiku. Memang tidak ada perkataan lain yang patut diucapkan selain itu. Segalanya damai. Segalanya pantas (Dini, 1998:66)
3)      Aku sedang mengusap badan dengan kain anduk, ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh di kebun. Sesuatu yang jatuh terhempas, di dahului oleh keributan daun dan ranting yang beradu berpukulan. Di susul seruan-seruan gugup pemondok kami (Dini, 1998: 77)
d.      Latar Sosial     :
1)      Masuk Sekolah Menengah Atas bagian Sastra merupakan penerusan yang kupilih sendiri. Tak seorang pun dari keluarga yang menunjukkan ke mana mesti pergi. Masing-masing terlalu sibuk atau masa bodoh.
2)      Di tengah-tengah perubahan watak manusia itu di dalam badai perubahan jaman serta cara bergaul, Ibu bertambah usia, namun tetap berpegang kepada tradisi pendidikannya.
3)      Oleh pengalaman tersebut, ditambah pula oleh kenyataan sekitar, baik di sekolah, di lingkungan keluarga maupun organisasi yang selalu mengabaikan atau mengecilkan peranan kami sebagai wanita, aku “hampir” terkena penyakit rendah diri sebagai seorang perempuan.
4)      Orang-orang sekeliling kami pun berubah,. Kata Ibu, dahulu tidak ada persoalan tetangga mengenai buah sawo yang dibawa codot memecahkan genting tetangga mereka. Anak-anak lebih terdidik, tidak merusak pagar dan masuk ke kebun orang mencuri isinya. Dulu orang selalu datang mengetuk pintu  berterus terang meminta daun atau batang pisang maupun keperluan lain (Dini: 1998:70)

3.      Alur     : Alur campuran
1)      Alur maju
Seperti ketika lulus dari Seolah Rakyat, pada waktu lulus SMP bagian A aku mendaftarkan diri ke sekolah selanjutnya, masuk Sekolah Menengah Atas Bagian Sastra merupakan penerusan yang kupilih sendiri.
2)      Ketika di SMP 1, aku sering berkesempatan pulang. Pada didnding belakang gedung ada pintu kecil yang menuju langsung ke kampong Sekayu bagian barat daya. Aku berbaik-baik dengan penjaga sekolah. Sebagai ganti keramahan yang kuanggap sebagai kelumrahan itu, dia menunjukkan tempat kunci pintu belakang sekolah disembunyikan. Di SMA tidak ada kesempatan seperti itu. Tetapi aku segera menemukan kemungkinan lainnya

Comments

Popular Posts