Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Balai Pustaka
A. Sejarah dan Latar Belakang
Lahirnya Balai Pustaka
Dalam sejarahnya awal mula Balai
Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk
bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908 melalui
keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche
school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka
baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910 yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes
sampai tahun 1916 dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta
meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial
Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan
Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka
ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda,
bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari
bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi
Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa
Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa
hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang
di negaranya sendiri.
Adapun usaha – usaha positif yang
dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap – tiap sekolah, mengadakan
peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan
bantuan kepada usaha – usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah
yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti
idiologi kolonial :
- Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan
karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan
liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan
majalah, dianggap tidak ada.
- Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan
buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel Indonesia
sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan
karikaturs.
- Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan –
sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera.
Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian
mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra
rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak
dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya
adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah
tetapi juga menggarap tema – tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya – karya
yang lahir pada saat itu.
Saat itu buku – buku yang diterbitkan
Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak – anak. Kedua, buku
hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan
dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa
Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang
(1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo
Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer
Jepang. [1]
Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar
tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh K.St. Pamoentjak
dan mendominasi penerbitan buku – buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia
bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain – lain.[2]
B. Karakteristik Karya – karya
Sastra Angkatan Balai Pustaka
Pada ragam karya sastra prosa,
timbul genre baru, yaitu roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Tujuan
didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa – bahasa seperti
bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta
mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra
Melayu Rendah.
Isi roman Azab dan Sengsara sudah
tidak lagi menceritakan hal – hal yang fantastis dan istanasentris,
melainkan lukisan tentang hal – hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang
memusatkan pada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat.
Adapun isi ringkasa roman Azab dan Sengsara.
Cinta yang tak sampai antara kedua
anak muda Aminuddin dan Mariamin, karena rintangan orang tua. Mereka saling
mencintai sejak dibangku sekolah, tetapi akhirnya masing – masing harus kawin
dengan orang yang bukan pilihannya sendiri, yang akibatnya tak ada kebahagiaan
dalam hidupnya. Pihak gadis terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintai,
yang berakhir dengan perceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang
sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun
1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tetapi
mengemukakan manusia- manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya
melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga- banggakaan
bangsawan, adat yang tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan
pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud
tertentu tercapai. Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam masyarakat.
Karya – karya Balai Pustaka:
- Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
- Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
- Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh (Abdul Muis)
- Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Nur
Sultan Iskandar)
- Muda Taruna, Buah di Kedai Kopi (Muhamad Kasim)
- Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia (Suman HS)
- Darah Muda, Asrama Jaya (Adinegoro)
- Sengsara Membawa Nikmat, Tak di Sangka, (Tulis Sultan
Tati)
- Dagang Melarat, Pertemuan (Abas Sutan Pamunjak Nan
sati)
Balai Pustaka membahas tentang
istiadat dan percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik ; gaya bahasa yang
digunakan karya – karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise,
menggunakan banyak pepatah – pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan
sehari – hari. Alur yang dipakai adalah alur datar atau alur lurus dan akhir
cerita tertutup. Tokoh – tokohnya selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat
kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang
datar. Penyajian tokoh hanya dalam permukaannya saja tidak ada atau menggunakan
masalah kejiwaan tetapi masalah seperti fisik yang dimunculkan dalam karya –
karya Balai Pustaka. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang maha
tahu, bersifat Idealisme dan Romantis. Kadang banyak alur yang menyimpang dan
lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar loyal
pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga
karya- karya Balai Pustaka digemari rakyat pedesaan dan rakyat kota yang
Priyayi. Roman – roman Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air
mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri
dari pikiran – pikiran sosial dan politik bangsanya.
Ciri – ciri karya sastra prosa
Angkatan Balai Pustaka :
- Menggambarkan persoalan adapt dan kawin paksa termasuk
permaduan
- Bersifat Kedaerahan
- Tidak bercerita tentang Kolonial Belanda
- Kalimat – kalimatnya panjang dan masih banyak
menggunakan perbandingan – perbandingan, pepatah, dan ungkapan – ungkapan
klise.
- Corak lukisan adalah romantis sentimental.
Adapun perintis puisi baru pada masa
angkatan 20 adalah Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair
Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia,
pembaharuannya dapat dilihat dari kumpulan puisi Tanah Air pada tahun 1922.
Berikut ini catatan puisi Moh. Yamin
:
Di atas batasan bukit barisan
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Dari segi isi, puisi ini merupakan
ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang rindu pada keagungan yang Maha
Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak lagi empat baris, seperti syair
dan pantun dan persajakannya (rima) tidak sama.
Karya Rustam Effendi
Puisi berikut merupakan karya Rustam
Effendi :
Bukan beta pijak berperi
Bukan beta pijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak berperi,
Musti menurut undangan mair,
Sarat – saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Dilihat bentuknya, puisi tersebut
seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya, seperti syair, ia meniadakan
tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern, yang
lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga
beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
C. Tokoh – tokoh Angkatan Balai Pustaka
Di bawah ini disajikan riwayat hidup
para pengarang angkatan Balai Pustaka secara singkat dan berikut nama-nama pada
masa angkatan Balai Pustaka.
1. Merari Siregar
Dilahirkan 13 Juni 1896 di Siporok,
Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di Kelenget, Madura.
Berpendidikan Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja
sebagai guru di Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige
Kalianget. Novelnya Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal
kesusastraan Indonesia.
2. Marah Rusli
Dilahirkan 7 Agustus 1889 di Padang,
meninggal 17 Januari 1968 di Bandung. Berpendidikan Sekolah Dokter hewan di
Bogor (1915), dan Dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Namanya
terkenal karena novel atau roman Siti Nurbaya.
3. Abdul Muis
Dilahirkan pada tahun 1889 di Solok,
Sumatra Barat, meningggal 17 Juli 1959 di Bandung. Pendidikan terakhir tamat
sekolah kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi klerek didepartemen
buderwijs en eredienst dan jadi wartawan di Bandung selain itu ia juga
aktif dalam syarikat islam dan pernah menjadi anggota dewan rakyat. Namanya
terkenal karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati
(1950), dan Robert Anak Surapati (1953)
4. Nur Sultan Iskandar
Dilahirkan 3 November 1989 di Sungai
Batang (Sumatra Utara), meningggal 28 November 1975 di Jakarta. Pendidikannya
sekolah Melayu 11 (1908), dan sekolah Bantu (1911) ia pernah menjadi guru
sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru Bantu di Muarabelita (Palembang),
Dosen Fakultas Sastra UI (1955-1960), dan Redaktur Balai Pustaka hingga
pensiun. Menghasilkan sejumlah novel diantaranya yaitu Apa Dayaku Karena Aku
Permpuan (1922), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), dan lain – lain.
5. Muhamad Kasim
Dilahirkan tahun 1886 di Muara
Sipongi, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), pendidikannya sekolah guru sampai
tahun 1935, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan cerpennya Teman
Duduk (1936) lazim disebut sebagai awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia.
Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak – anak Balai
Pustaka tahun 1924, lalu terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan Dalam
Dunia Kanak – kanak.
- 6. Suman H. S.
Dilahirkan tahun 1904 di Bengkalis.
Berpindah ke sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918) dan sekolah normal di
Medan dan Langsa (1923), dia pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di HISSIAK
Sri Indapura (1923-1930). Kepala Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan
(1930) pemilik sekolah dizaman penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap
kepala jabatan dinas Pekanbaru – Kampar. Anggota pemerintahan tingkat satu Riau
(1960-1966). Anggota DPRD propinsi Riau (1966-1968) dan terakhir menjabat ketua
umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karangannya :
1. Kasih Tak Terlarai (novel, 1929)
2. Percobaan Setia (novel, 1931)
3. Mencari Pencuri Anak Perawan
(novel, 1932)
4. Casi Tersesat (novel, 1932)
5. Kawan Bergelut (kumpulan cerpen,
1938)
6. Tebusan Darah (novel, 1939)
7. Adinegoro
Dilahirkan 14 Agustus 1904 di
Talawi, Sumatra Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta berpendidikan
sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta (1918-1925) dan kemudian memperdalam
pengetahuan di Belanda dan Jerman Barat (1926-1930), dia pernah memjadi redaktur
Panji Pustaka. Perwata Deli dan Mimbar Indonesia di samping itu ia juga pernah
menjadi anggota Dewan Rakyat pada masa pendudukan Jepang, anggota Dewan
Perancang Nasional, anggota MPRS, ketua komisaris badan penerbit Dewan Agung,
dan Dewan Komisaris LKBN antara.
Karangannya:
- Darah Muda (novel, 1927)
- Asmara Jaya (novel, 1928)
- Melawat Ke Barat (novel, 1930)
8. Tulis Sutan Sati
Dilahirka tahun 1928 di Bukitinggi,
meninggal tahun 1942 di Jakarta pernah menjadi guru dan kemudian menjadi
Redaktur Balai Pustaka (1920-1940).
Karangannya:
- Sengsara Membawa Nikmat (novel, 1928)
- Tak Disangka (novel, 1929)
- Syair Siti Marhumah Yang Saleh (1930)
- Memutuskan Pertalian (novel,1932)
- Tiak Membalas Guna (novel, 1932)
9. Abas Sutan Pamunjak Nan Sati
Di lahirkan 17 Febuari 1899 di
Magak, Bukitinggi, meninggal 4 Oktober 1975 di Jakarta pendidikannya Swasta di
Magek (1908-1911) sekolah privat di Bukitinggi (1911-1913), Kweek Schol
(1914-1920), kursus bahasa (1918), dan Inland MO (1929-1945), ia pernah menjadi
guru diberbagai kota (1920-1942), Dosen Sekolah Tinggi di Jakarta (1942-1945),
Dosen Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (1946-1949), pegawai departemen
pendidikan pengajaran merangkap Dosen Universitas Indonesia di Jakarta (1949).
Karangannya:
- Dagang Melarat (novel, 1926)
- Pertemuan (novel, 1927)
- Putri Zahara atau Bunga Tanjung di Pasar Pasir (Afrika)
(novel, 1947)
- Jambangan (Kumpulan Sajak, 1947)
10. Aman Datuk Madjoinjo
Dilahirkan tahun 1896 di Surakam,
Solok (Sumatra Utara), meninggal 16 Desember 1969, sejak tahun 1920 hingga
pensiun ia bekerja di Balai Pustaka.
Karangannya:
- Syair Si Banso Urai (1931)
- Menebus Dosa (novel, 1932)
- Rusmala Dewi (novel bersama S.Hardejosumarto,1932)
- Si Cebol Rindkan Bulan (novel, 1934)
- Sampaikan Salamku Kepadanya (novel, 1935), dll.
11. Muhammad Yamin
Dilahirkan 23 Agustus 1903 di
Sawahlunto, Sumatra Barat, meninggal 17 Oktober 1926 di Jakarta, pendidikannya
HIS (1918), AMS (1927), dan tamat sekolah Hakim Tinggi Jakarta (1932). Ia
pernah menjadi Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, pendidikan dan
kebudayaan RI (1953-1955), Ketua Badan Pengawasan LKBN antara (1961-1962) ketua
Dewan Perancang Nasional (1962).
Karangannya:
- Tanah Air (Kumpulan Sajak, 1922)
- Indonesia Tumpah Darahku (Kumpulan sajak, 1928)
- Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (drama, 1932)
- Ken Arok dan Ken Dedes (drama, 1934)
12. Rustam Effendi
Dilahirkan 13 Mai 1903 di Padang dan
HKS Bandung ( 1924) dia pernah menjadi guru di Perguruan Tinggi Islam Adabiah
11 Padang tahun (1928-1947), ia bermukim di Belanda dan 14 tahun diantaranya
(1933-1946) menjadi anggota Kamer Majelis Rendah.
Karangannya:
- Bebasari (drama, 1926)
- Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1926)
13. Yogi (Abdul Rivai)
Dilahirkan 1 Juli 1896 di Bonjol,
Sumatra Utara, meninggal 4 April 1983 di Jakarta pendidikannya Sekolah
Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping dan Kursus Guru Bantu.
Karangannya:
- Gubahan (kumpulan sajak, 1930)
- Puspa Aneka (1931)
Tokoh – tokoh yang pernah memimpin
Balai Pustaka tercatat Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.A. Hidding,
sementara sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat adinegoro,S.
Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.[3]
D. Karakteristik Karya Sastra yang
Terbit di Luar Balai Pustaka
Karya sastra yang terbit di luar
Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut
dengan Bacaan Liar.
Pada abad ke-19, di Surabaya terbit
surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Awal abad-20 di Bandung terbit
surat kabar yaitu Medan Priyayi yang memuat cerita – cerita bersambung
berbentuk roman. Cerita – cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan
oleh pengarang – pengarang Melayu atau Sumatra, yang mengisahkan masyarakat
pada masa itu. Seperti roman yang berjudul Hikayat, yang melukiskan kehidupan
sehari – hari dan menggunakan bahasa Melayu. Pemimpin redaksi surat kabar Medan
Prijaji sendiri, Raden Mas (Djokonomo) Tirto Adhisurjo (1875-1916) menulis dua
buah cerita roman, masing-masing berjudul Busono (1910) dan Nyai Permana
(1912). Pengarang keturunan bahasa Melayu- Cina. Misalnya G. Francis yang
menulis kisah Nyai Desima (1896). Kisah ini menceritakan nasib seorang wanita
kampung yang dijadikan nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh
pengaruh guna-guna seorang Bang Samiun.[4]
Adapun karya Marco Kartodikromo yang
berjudul Student Hijo, yang terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar
Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919, merupakan salah satu perintis
lahirnya sastra perlawanan: sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum
perang.[5]
Novel ini berkisah tentang lahirnya
para intelektual pribumi dari kalangan borjuis kecil yang secara berani
mengontraskan kehidupan di Nederland, oleh karena itu novel ini dipinggirkan
oleh Balai Pustaka. Tak hanya itu, buku ini menceritakan kisah cinta yang rumit
antara para tokoh – tokohnya seperti Hijo, Biru, Wungu, Walter dan lain – lain.
Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa.
Mengutip hasil penelitian Salmon Edwin mengatakan, Oey Se karya Thio Tjien Boen
dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama
Kesastraan Melayu Tionghoa yang diterbutkan tahun 1903, dua karya itu lahir 20
tahun lebih awal dibanding karya – karya sastra terbitan Balai Pustaka antara
lain terbitan novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar dan Siti
Nurbaya (1922) karya Marah Rusli.
Isi dari Oey Se karya Thio Tjien
Boen dan Lo Fen Koei itu sudah bukan lagi tergolong kisah – kisah hikayat namun
sebaliknya lebih mengesankan sabagai novel denan para tokohnya yang riil an
pengarang yang jelas. Gerakan Tionghoa Modern waktu itu, berniat ingin
memperbarui adat – istiadat Tionghoa di Jawa yang mereka nilai sudah kolot.[6]
KESIMPULAN
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka
terbentuk pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari Balai Pustaka
yaitu Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian pada
tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de
volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama
yang diterbitkan pada masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara
oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk
mengembangkan bahasa – bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai
cara untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan
pernyaian (cabul) dan daianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan
oleh sastra Melayu Rendah.
Karya – karya Balai Pustaka membahas
tentang istiadat dan percintaan. Tokoh – tokohnya di angkatan Balai
pustaka selalu orang – orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan
karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria
Balai Pustaka biasa kita sebut dengan bacaan liar. Pada abad ke-19 mulai
bermunculan bacaan liar yang ada di Surabaya, yaitu terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang
popular adalah Nyai Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu
Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng
Liang, isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat – istiadat
Tionghoa di Jawa, yang mereka nilai sudah kolot.
Comments
Post a Comment