PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
PEMBAHASAN
ANGKATAN
BALAI PUSTAKA
A.
Sejarah
Berdirinya Angkatan Balai Pustaka
Penerbit
ini didirikan oleh pemerintah Belanda di Jakarta pada tahun 1908 dengan nama Commissie voor de Inlandsche School en
Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat). Tahun 1917 diubah namanya menjadi Kantoor
voor de Volkslectuur, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai
Pustaka. Latar belakang didirikannya penerbit ini ialah adanya kekhawatiran
dari pihak pemerintah penjajah. Mereka mengkhawatirkan terjadinya rongrongan
terhadap kekuasaan pemerintah yang disebabkan oleh mulai bermunculan
bacaan-bacaan hasil penerbitan yang diusahakan oleh kalangan swasta. Hal itu
secara tegas dikemukakan oleh Dr. A. Rinkes, sekretaris Balai Pustaka, sebagaimana
dipetik oleh Ajip Rosidi (1969:19)
Hasil
pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya,
kalau
orang yang telah tahu membaca itu mendapat
kitab-kitab
bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab
yang
kurang suci dan dari orang-orang yang
bermaksud
hendak mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama
dengan
pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang
memenuhi
kegemaran orang
kepada
pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya
menurut
tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan
segala
yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.
Garapan utama lembaga
penerbitan ini ialah menerbitkan buku-buu yang dipandang baik oleh mereka, murah
harganya, dengan sasaran utama kelompok masyarakat yang baru saja menguasai
kemempuan membaca dan menulis (huruf latin). Kelompok ini maki banyak jumlahnya
sebagai hasil pendidikan sekolah yang diselenggarakan bagi orang-orang
bumiputra. Usaha pertama yang ditempuh ialah mencoba mengumpulkan serta
kemudian menerbitkan cerita-cerita tradisional atau cerita rakyat. Dalam hal
ini perlu diingat bahwa cerita-cerita jenis itu pada waktu masih hidu dala
bahasa-bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan sebagainya).
Balai
Pustaka menerapkan kebijakannya untuk tidak menerbitkan naskah yang
diperkirakan akan menimbulkan masalah keagamaan, pandangan politik yang
bertentangan dengan pemerintah dan buku-buku yang berisi penyimpangan moral.
Balai Pustaka memang didirikan pada tahun 1908 dan diperluas pada tahun 1917,
pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya baru produktif sesudah tahun1920-an. Selain
menerbitkan cerita-cerita rakyat, Balai Pustaka juga menerbitkan
karangan-karangan baru bentuk novel. Bentuk karangan ini dikenal para pengarang
kita setelah bergaul dengan sastra Barat (Belanda).
Terlepas
dari tuduhan bahwa Balai Pustaka melakukan sensor yang sangat ketat menyebabkan
hasil pekerjaan penerbit melahirkan kehidupan sastra baru. Pada periode ini
muncul muncul sedertan pengarang beserta hasil-hasil karya ciptaannya.
Kenyataan itu menyebabkan beberapa orang ahli sastra lalu berpendapat bahwa
sastra Indonesia baru (modern) dimulai pada tahun 1920-an (Iskandarwassid,
dkk., 1997: 7—9).
B. Karakter Sastra
Angkatan Balai Pustaka
Pendirian Balai Pustaka mencegah pengaruh buruk dari bacaan
yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi
politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah. Balai Pustaka
dianggap sebagai awal pertumbuhan sastra Indonesia, karena pada masa inilah
mulainya para pengarang mengungkapkan perasaanya serta gagasannya sendiri dalam
karya ciptaannya, sehingga kita melihat adanya keanekaragaman tema dalam
karya-karya mereka.
Tema-tema novel dari periode ini pada umumnya tentang kawin
paksa. Simpulan itu dibenarkan. Akan tetapi, di balik “keseragaman” itu
sebenarnya terdapat pula keanekaragaman. Perjodohan paksa dalam cerita-cerita
itu ada yang menimpa tokoh pria, ada juga yang menimpa tokoh wanita. Atas
paksaan itu, “cerita” yang menyerah, ada yang menolaknya atau berusaha
berontak, ada pula yang berusaha menemukan jalan tengah. Akibat pemaksaan
jodoh, cerita selalu berakhir dengan memilukan, berbagai kesedihan dan
penderitaan yang harus dialami tokoh, kadang-kadang diakhiri dengan kematian
tragis. Tokoh-tokoh cerita yang menang dalam menentang paksaan itu selalu
berakhir dengan kebahagiaan.
Bila dihubungkan dengan situasi sosial-budaya, ramainya tema
kawin paksa dalam novel-novel periode Angkatan Balai Pustaka dapat menimbulkan
tafsiran sedang terjadinya gejaa perubahan, usaha menolak satu di antara
tradisi pada masa itu.
Menurut adat, memilihkan jodoh untuk anak bukan suatu
kesalahan, melainkan sesuatu yang benar, malah semestinya dilakukan. Oleh
karena itu, kaum tua tidak pernah menganggapnya sebagai paksaan terhadap
anaknya. Menurut sisi lain, kaum muda mulai merasa tidak lagi cocok dengan adat
itu, mereka ingin kebebasan dalam memilih pasangan. Kawin paksa di lingkungan
masyarakat Minagkabau banyak diangkat menjadi tema cerita dalam novel, karena
kebanyakan pengarangnya berasal dari Minangkabau, dan sedikit sekali yang
berasal dari daerah lain. Hal itu terjadi karena merekalah yang lebih mengenal
tradisi menulis dengan bahasa Melayu, atau lebih terbiasa menggunakan bahasaMelayu,
bahasa yang kemudian dijadikan dasar bahasa Indonesia. Perkiraan itu terlihat
bandingannya ketika pada periode berikutnya, kepengarangan Indonesia sudah
tidak lagi didominasi penulis-penulis asal Sumatra.
Pada perkembangan selanjutnya perkenalan dengan tradisi
menulis dalam bahasa Indonesia mulai merata yang disebabkan oleh bahasa
Indonesia yang telah menjadi bahasa persatuan dari perisiwa Sumpah Pemuda.
Peristiwa tersebut terjadi dalam kongres Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 yang diadakan
oleh organisasi-organisasi pemuda yang memutuskan untuk bergabus menjadi suatu
wadah yang lebih besar yang disebut Indonesia Muda.
Pernyataan
bahasa persatuan tertuang dalam Sumpah Pemuda, yang bunyinya adalah sebagai
berikut.
Pertama: Kami putera dan puteri
Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kedua : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
Bangsa Indonesia.
Ketiga : kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Kongres Pemuda telah merumuskan landasan yang paling
fundamental. Perwujudannya dalam bidang sastra masih memerlukan waktu, kemudian
perkembangan sastra Indonesia baru itu terus berlangsung, menyertai
perkembangan zaman dengan penggunaan bahasa Indonesia di dalam karya sastra.
Roman Azab dan Sengsara yang terbit pada tahun1920 sudah
tidak lagi menceritakan hal–hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan
lukisan tentang hal–hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang memusatkan
pada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi
ringkasan roman Azab dan Sengsara.
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda Aminuddin dan
Mariamin, karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak dibangku sekolah,
tetapi akhirnya masing – masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya
sendiri, yang akibatnya tak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Pihak gadis
terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintai, yang berakhir dengan
perceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika
diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Novel Sitti
Nurbaya mengisahkan tentang Sitti Nurbaya adalah putri Baginda Sulaiman,
seorang pedagang kaya di . Gadis itu bersekolah bersama Samsul Bahri, putra
penghulu Sutan Mahmud, di antara keduanya menjalin kasih sayang. Samsul ke
Jakarta untuk meneruskan kuliah dokter, dan Nurbaya harus puas tinggal di
kotanya, hingga Baginda Sulaiman mengalami kebangkrutan dan akhirnya terlilit
hutang yang banyak dengan Datuk Maringgi dan tidak bisa membayarnya, untuk
menebus hutang Baginda Sulaiman, Datuk Maringgi meminta Sitti Nurbaya menjadi
istrinya, dengan terpaksa Sitti Nurbaya harus berkorban untuk ayahnya. Novel
ini menceritakan kasih tak sampai serta kawin paksa yang dialami oleh Sitti
Nurbaya di kalangan adat Minangkabau ((Sapardi J.D, 1979: 21).
Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja,
tetapi mengemukakan manusia- manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak
hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakaan
bangsawan, adat yang tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan
pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud
tertentu tercapai. Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam masyarakat.
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan percintaan.
Pada tingkat unsur intrinsik; gaya bahasa yang digunakan karya–karya Angkatan Balai
Pustaka menggunakan perumpamaan klise, menggunakan banyak pepatah – pepatah
dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari–hari. Alur yang dipakai adalah
alur datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh – tokohnya selalu
orang-orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam
masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya dalam
permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah
seperti fisik yang dimunculkan dalam karya – karya Balai Pustaka. Sudut pandang
yang digunakan adalah sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis.
Kadang banyak alur yang menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau
nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu
pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka digemari rakyat
pedesaan dan rakyat kota yang priyayi. Roman–roman Balai Pustaka penuh
sentimentalis, penuh air mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan
rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran – pikiran sosial dan politik
bangsanya.
Ciri
– ciri karya sastra prosa Angkatan Balai Pustaka secara umum, yaitu:
- Menggambarkan
persoalan adat dan kawin paksa termasuk perpaduan
- Bersifat
kedaerahan
- Tidak
bercerita tentang Kolonial Belanda
- Kalimat–kalimatnya
panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah,
dan ungkapan – ungkapan klise.
- Corak
lukisan adalah romantis sentimental.
Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Pustaka secara
khusus, yaitu:
1.
Gaya Bahasa
: Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2. Alur
: Alur Lurus.
3. Tokoh : Plot karakter (digambarkan langsung oleh narator).
4. Terdapat digresi :
Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu
kelancaran teks.
5. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang
pertama
6.
Corak :
Romantis sentimental.
7.
Sifat :
Didaktis (pendidikan)
8.
Latar belakang sosial: Pertentangan paham antara kaum muda dengan
kaum tua.
9.
Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan
masyarakat.
10.
Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11.
Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dan lain-lain.
12.
Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Perintis puisi baru pada angkatan 1920 adalah Moh. Yamin, beliau dipandang sebagai
penyair Indonesia baru yang pertama, karena ia mengadakan pembaharuan puisi
Indonesia, pembaharuannya dapat dilihat dari kumpulan puisi Tanah Air pada tahun
1922.
Berikut ini catatan puisi Moh. Yamin :
Di atas batasan bukit barisan
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Dari
segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang
rindu pada keagungan yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak
lagi empat baris, seperti syair dan pantun dan persajakannya (rima) tidak sama.
Puisi
berikut merupakan karya Rustam Effendi :
Bukan beta pijak berperi
Bukan beta pijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak berperi,
Musti menurut undangan mair,
Sarat – saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Dilihat
bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya,
seperti syair, ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu
disebut pantun modern, yang lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi,
dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak
asonansi dan aliterasi.
C.
Sastrawan Angkatan Balai Pustaka
Di
bawah ini disajikan riwayat hidup para pengarang angkatan Balai Pustaka secara
singkat dan berikut nama-nama pada masa Angkatan Balai Pustaka.
1. Abdul
Muis
Abdul muis lahir pada tanggal 3 juni
1883 di bukittinggi, Sumatera Utara. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh,
Sungai Puar. Sejak remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya,
merantau ke Jawa. Bahkan , masa tuanya pun dihabiskan diperantauan. Sastrawan
yang sekaligus pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal
17 juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan
Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan dua orang istri dan 13 anak .
Abdul Muis hanyalah lulusan Sekolah
Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang
pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun. Namun, karena sakit, ia
terpaksa keluar dari sekolah tersebut.pada tahun 1917 ia sempat ke Negeri
Belanda untuk menambah pengetahuan.
Meskipun hanya berijazah ujian
amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dari ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan
berbahasa Belanda yang baik. Oleh karena itu, begitu keluar dari Stovia, ia
diangkat oleh Mr.Abendanon, Directur Onderwijs (Direktur Pendidikan) pada
Department van Onderwijs en Eredients yang kebetulan membawahi stovia, menjadi
klerk. Konon, Abdul Muis orang Indonesia pertama yang dapat menjadi klerk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi
klerk tersebut ternyata tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda. Hal ini
membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar
dari department itu setelah dijalaninya lebih bkurang dua setengah
tahun(1903-1905).
Pada tahun 1905 ia diterima sebagai
anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Karena tahun 1907 Bintang Hindia
dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke bandungsche Afdeelingsbank sebagai
mantri lumbung. Pekerjaan ini ditekuninya selama kurang lebih lima tahun,
sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur.
Bakat kepengarangan Abul Muis
sebenarnya baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan. Ia menulis
banyak hal, salah satu diantaranya dalah roman sejarahnya, Surapati. Sebagai
sastrawan, Abdul Muis tergolong kurang produktif. Menurut catatan yang ada, ia
hanya menghasilkan empat buah novel/roman. Konon, karya besarnya, Salah Asuhan,
dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu.
2. Marah
Rusli (1889-1968)
Nama
lengkapnya Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7
agustus 1889. Nama samarannya adalah Sadi B. Ia dilahirkan dari keluarga
bangsawan, ayahnya bernama Sultan Abu Bakar seorang demang dengan gelar Sultan
Pangeran. Gelar “marah” dalam adat Min angkabau diberikan kepada anak laki-laki
dari perkawinan antara suami bergelar Sutan(bangsawan) dengan istri ya ng tidak bergelar Puti(putri bangsawan).
Pada tahun 1911 Marah Rusli menikah
denagn seorang gadis Sunda. Perkawinan ini tidak setahu dan seizin kedua orang
tua. Dari perkawinan itu, dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan
seorang perempuan.
Setelah menamatkan studinya ia
pulang kekampung dengan tidak membawa keluarganya. Sesampainya dikampung, ia
dijodohkan sama orang tuanya jkepada perempuan yang tidak ia kenali. Semua
alasan ia untuk menolak perkawinan itu tidak diterima oleh orang tuanya.
Setelah upacara pernikahan, Marah Rysli langsung menjatuhkan talak tiga kepada
istri yang baru dinikahi dia. Orang tua Marah Ruslipun semakin marah, Marah
Rusli npun kembali ke Bogor tanpa pamit kepada orang tuanya. Marah Rusli
meninggal pada tanggal 17 januari 1968 di bandung .
Marah Rusli sekolah di Rofdenschool
‘sekolah raja’ di Bukittinggi, tamat tahun 1910. Oleh karena Marah Rusli
berprestasi, ia dianjurkan olehb gurunya yang bernama Hoornsma untuk belajar ke
negeri Belanja. Akan tetapi, orang tuanya tidak mengizinkan.
Tamat dari sekolah dokter hewan di
Bogor, Marah Rusli diangkat menjadi ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Pada
tahun 1916 Marah Rusli menjabat kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah
menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandungkemudian mengepalai daerah
perhewana di Blitar. Tahun 1920 menjadi asisten leraar ‘dosen’ kedokteran hewan
di Bogor. Tahun 1921 menjadi dokter hewan di jakarta. Tahun 1925 pindah ke
Baliga(Tapanuli).
Sejak tahun 1920 Marah Rusli
dianggap sebagai pengarang roman yang pertama dalam sejarah sastra indonesia
modern. Marah Rusli sebagai tokoh yang terpenting pada generasi Balai Pustaka
dan menjadi pelopor kesusasteraan Indonesia modern. Kepeloporannya ini karena
lahirnya prosanya, yaitu Siti Nurbaya, isinya begitu luas dan permasalahannya
sangat penting, yaitu masalah adat kebiasaan kedaerahan yang zamannya masih
kuat membelenggu manusia-manusia Indonesia.
3. Nur
Sutan Iskandar (1893-1975)
Nur Sutan Iskandar dilahirkan di
Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat, pada tanggal 3 november 1893. Nama
sebenarnya adalah Muhammad Nur. Karena saat menikah diberi gelar Sutan
Iskandar, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar(Tarma, No.3,
Maret 1962).
Pada tahun 1919 Nur Sutan Iskandar
mulai meninggalkan kampung halamannya. Ia merantau ke pulau Jawa. Pada tahun
1930-an saat mengikuti Kongres Pemuda di Surabaya, ia sempat berkenalan dengan
Dokter sutomo, tokoh pendiri Budi utomo.
Jiwa kepengarangannya berkembang
karena mendapat dorongan dari istri, Aminah dan kelima anaknya. Tokoh pengarang
angkatan balai pustaka yang seangkatan dengan Merari Siregar,Marah Rusli, dan
Hamka itu menuinggal pada ta nggal 28 november 1972 di Jakarta.
Nur Sutan Iskandar menamatkan
pendidikan sekolah rakyatnya pada tahun 1909 di Sungaibatang. Meskipun hanya
berijazahkan sekolah dasr, Nur Sutan Iskabndar dikenal sebagau orang yang haus
akan ilmu pengetahuan. Sambil bekerja tak henti-hentinya, ia terus berusaha
menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun nonform,al.
Nur Sutan Iskandar mulai bekerja
sejak 17 tahun, meskipun sebagai guru bantu. Pada vtahun1911 bari ia secara
resmi diangkat sebagai guru di Sekolah Rakyat Muarabliti, Padang. Pada tahun
1919 Nur Sutan Iskandar meninggalkan kota Padang, hijrah ke Jakarta, ia bekerja
di balai pustaka. Berkat ketekunan dan kepiawiannya, pada tahun 1925 ia
diangkat sebagai pemimpin redaksi balai pustaka. Pada tanggal 22 agustus 1968
Nur Sutan Iskandar mendirikan yayasan, yang diberi nama yayasan Nur Sutan
Iskandar.
Menurut pengakuannya, mengarang
merupakan kegemaran Nur Sutan Iskandar sejak kecil. Sayang, pengakuannya tidak
didukung dengan bukti yang konkret. Yang pasti karya-karyanya baru muncul pada
tahun 20-an, sekalipun tidak tertutup kemungkinan bahwa karya itu ditulis jauh
diterbitkan.
4. Roestam
Effendi
Roestam Effendi lahir pada tanggal
13 mei 1903 di Padang, Sumatera Barat dan meninggal dunia di Jakarta pada
tanggal 24 mei 1979. Rustam Effendi adalah tamatan Sekolah Raja (kweekschool) Bukittinggi.
Rustam kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Inlandse
Onderwijzers(HKS) ‘Sekolah Tinggi untuk Guru Bumiputra’ Bandung. Pada tahun
1926, ia meninggalkan Indonesia, pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan
pendidikannya.
Setelah tamat dari HKS Bandung,
sebelum berangkat Negeri Belanda, Rustam sempat beberapa lama menjadi guru
kepala sekolah di Padang, di samping bebas menulis, ia juga sempat terjun di
dunia jurnalistik dan politik. Pada tahun 1926 ia pergi ke negeri Belanda dan
bergabung dengan partai komunis nederland.
Pada masa awal kepengarangannya,
dalam menulis ia sering menggunakan nama samaran Rahasia Emas, Rantai Emas, dan
Rangkayo Elok. Konon, sajak-sajak yang dimuat asjraq itulah yang menjadi
cikal-bakal percikan permenungan.
5.
Merari Siregar
Merari Siregar
dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896.
Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April 1941). Ia
meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19
Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan
Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
Semasa kecil,
Merari Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa
Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia
menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin
paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelab dewasa dan menjadi
orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai
pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin
mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang
di daerah Sipirok.
Ia pernah
bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru Oosr en
West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923 Merari
Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van
Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif
memperakiekkan politik etis Belanda.
Merari Siregar
mulai bekerja setelah menyelesaikan sebagai guru bantu di Medan kemudian pindah
bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo). Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura, dan bekerja di Opium
end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Roman Azab
dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan
prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920 ini
merupakan roman yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini
mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian
dinyatakan oleh Teeuw. Gambaran itu semakin nyata terlihat pada roman Siti
Nurbaya yang merupakan karya puncak Angkatan Balai Pustaka. Di samping itu,
Azab dan Sengsara ini adalah peniup terompet pertama yang menyuarakan
peftentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama.
Tampaknya, buku
Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan
Merari Siregar sejak masa kedil. Awal penulisan Azab dan Sengsara bersamaan
waktunya dengan penyaduran buku yang kemudian terkenal dengan nama Si Jamin
dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Roman Azab dan Sengsara itu
rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis Batak yang bernama
Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering menyisipkan nasihat-nasihat
langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah
tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan
adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip
tulisan pengarang yang menunjukkan hal tersebut.
Saya
mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang
kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara
orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun
seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma
waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan
terang.
Merari Siregar
selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan
Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan
Smees’. Judul perasaan itu tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
6.
Muhammad Yamin
Penyair yang dikenal sebagai pemula
bentuk soneta dalam kesusastraan Indonesia modern ini dilahirkan di Sawahlunto,
Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng
Sundari Mertoatmadjo, kemudian dia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962
di Jakarta.
Di zaman
penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat
menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat
menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang
intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu.
Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang
nasionalis.
Pendidikan yang
sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di
Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan
dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) - Sekolah
Menengah Umum - di Yogya, dan
HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan
sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya
sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di
Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan
sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat
mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia
biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari
pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof.
H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS
Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat
berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang
peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal,
belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul
Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan
berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada
tahun 1932.
Sebelum tamat
dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan
kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia
merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Jong Sumatramen
Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926-1928). Dalam Kongres
Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa
Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932-1938).
Pada tahun 1938-1942 Yamin
tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan
Perwakilan Rakyat’. Ketika
kemerdekaan
Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam
pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962),
dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Dari riwayat
pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun
perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan
luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima
mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi
kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air
dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya
karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil
pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun
1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja
oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat
yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 , Muhammad Yamin
tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan
sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia
telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra
Indonesia.
7. Djamaluddi Adinegoro
Adinegoro lahir
di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya
sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia
adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain
ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama
Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro
terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak
diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat
tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai
identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk
mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah
Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai
sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin (Anita K.R., 1997:55)
Adinegoro
sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia
mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah
kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di
Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di
bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada
sastrawan.
Adinegoro kariernya
sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap
minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut.
Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance
journalist) pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur,
dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali
ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931.
Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana , hanya enam bulan. Sesudah itu, ia
memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah
memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr.
Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya,
ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor
Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro
mengabdi di kantor berita tersebut.
8. Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal pada zaman Jepang.
Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair.
Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928),
Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian
(1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti
Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina
(saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai
nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
5. Aman Datuk Madjoindo
Aman Datuk Madjoindo lahir di Supayang, Solok,
Sumatera Barat,
5 Maret
1896 – meninggal
di Sirukam, Solok,
Sumatera Barat,
5 September
1969
pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Angkatan Balai
Pustaka.
Satu di antara karyanya yang terkenal adalah Si Doel Anak
Betawi, yang kemudian dijadikan film Si Doel Anak Betawi
oleh sutradara Syumanjaya, dan menjadi inspirasi sinetron Si Doel Anak
Sekolahan. Aman pernah mengenyam pendidikan di HIS di Solok, serta Kweekschool
(Sekolah Raja) di Bukittinggi.
Setelah lulus sekolah dia sempat menjadi guru di Padang di tahun 1919
sebelum pindah ke Jakarta dan bekerja
di Balai Pustaka pada
tahun 1920.
Pada awal masuk Balai Pustaka Aman pertama kali bekerja sebagai sebagai
korektor, sebelum menjadi ajudan redaktur dan kemudian redaktur. Dia juga
pernah menjabat direktur penerbit Balai Pustaka.
D. Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
1. Karya-karya
Abdul Muis (1883-1959)
Abdul
Muis hanya menghasilkan tidak lebih dari dua puluh karya, baik karya asli,
saduran, maupun terjemahan .Berikut adalah daftar karya-karyanya.
a. Tom
Sawyer AnakAmerika (1928)
b. Sebatang
Kara (1949)
c. Hakiyat
Bachtiar (1950)
d. Hendak
Berbakti (1951)
e. Kita
dan Demokrasi (1951)
f.
Robert Anak Surapati
(1953)
g. Hikayat
Mordechai (1956)
h. Kurnia
(1958)
i.
Pertemuan Djodoh
(1961)
j.
Surapati (1965)
k. Salah
Asuhan (1967)
l.
Cut Nyak Din
m. Don
Kisot
n. Pangeran
Kornel
o. Daman
Brandal Sekolah.
2. Karya-karya Marah Rusli (1889-1968)
a. Siti
Nurbaya (1920)
b. La
Hami (1924), dan
c. Anak
dan Kemenakan (1956), (Padi, 2013:50)
3. Karya-karya
Adinegoro (1904-1967)
a. Novel
1) Darah
Muda (1931)
2) Asmara
Jaya (1932)
3) Melawatke
Barat (1950)
b. Cerita
dalam Majalah
1) “BayatiesKopyor”,hlm
3- 4, 23 (1961).
2) “Etsuko”,hlm
2- 3,31 (1961)
3) “Lukisan
Rumah Kami”,hlm 17- 18 (1963)
4) ”Nyanyian
Bulan April”,hlm 2- 3(1963).
4. Karya-
karya Muhammad Yamin (1903- 1962)
a. Puisi
1) Indonesia, TumpahDarahku (1928)
b. Drama
1) Ken
Arok dan Ken Dedes (1934)
2) Kalau
Dewi Tara Sudah Berkata (1932)
c. Terjemahan
1) Julius Caesar (1952)
2) Menantikan
Surat Dari raja (1928)
3) Di
Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga
4) Tan
Malaka (1945)
d. Sejarah
(1) Gadjah
Mada (1945)
(2) Sejarah
Pangeran Diponegoro (1945)
5. Karya-
karya Nur Sutan Iskandar (1893- 1975)
a. Karya
Asli
1) Apa
Dayaku karena Aku Perempuan (1923)
2) Cinta
yang Membawa Maut (1926)
3) Salah
Pilih (1928)
4) Abu
Nawas (1929)
5) Karena
Mertuan (1932)
6) Tuba
Dibalas dengan Susu (1933)
7) Dewi
Rimba (1935)
8) Hulu
balang Raja (1934)
9) Katak
Hendak Jadi Lembu (1935)
10) Neraka
Dunia (1937)
11) Cinta
dan Kewajiban (1941)
12) Jangkir
Bali (1942)
13) Cinta
Tanah Air (1944)
14) Cobaan
(TuruhkeDesa) (1946)
15) Mutiara(1946)
16) Pengalaman
Masakecel (1949)
17) Ujian
Masa(1952)
18) Megah
Cerah kelas II (1952)
19) Megah
Cerah kelas III (1952)
20) Peribahasa
(1946)
21) Sesalanm
Kawin (t.t)
6. Karya-karya
Tulis Sutan Sati
a.
Tak Disangka
(1923)
b.
Sengsara
Membawa Nikmat (1928)
c.
Syair Rosina
(1933)
d.
Tjerita Si
Umbut Muda (1935)
e.
Tidak Membalas
Guna
f.
Memutuskan
Pertalian (1978)
g.
Sabai nan
Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)
7. Karya-karya Rustam Effendi
a. Bebasari (drama, 1926)
b. Percikan Permenungan (kumpulan
sajak, 1926), ( Anita K.R, 1997:53)
8. Aman Datuk Madjoindo
Ada lebih 20 buku yang telah dikarang Aman Datuk
Madjoindo. Si Doel Anak Betawi ditulis pada tahun1956. Namun jauh
dia sebelumnya telah menulis berbagai cerita lain, di antaranya :
a.
Menebus Dosa (1932),
b.
Rusmala Dewi (1932, bersama S. Hardjosoemarto),
c.
Sebabnya Rafiah Tersesat (1934, bersama S. Hardjosoemarto),
d.
Si Cebol Rindukan Bulan (1934),
e.
Perbuatan
Dukun (1935),
dan
f.
Sampaikan Salamku Kepadanya (1935).
DAFTAR
PUSTAKA
Iskandarwassid.
1997. Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono,
Sapardi Joko. 1979. Novel Sastra
Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rustapa,
Anita K., dkk. 1997. Antologi Biografi
Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Padi,
Editorial. 2013. Kumpulan Super Lengkap
Sastra Indonesia. Jakarta: Ilmu Padi Infra Pustaka Makmur.
Comments
Post a Comment