PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA ANGKATAN BALAI PUSTAKA


PEMBAHASAN
ANGKATAN BALAI PUSTAKA

A.    Sejarah Berdirinya Angkatan Balai Pustaka

Penerbit ini didirikan oleh pemerintah Belanda di Jakarta pada tahun 1908 dengan nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat). Tahun 1917 diubah namanya menjadi  Kantoor voor de Volkslectuur, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka. Latar belakang didirikannya penerbit ini ialah adanya kekhawatiran dari pihak pemerintah penjajah. Mereka mengkhawatirkan terjadinya rongrongan terhadap kekuasaan pemerintah yang disebabkan oleh mulai bermunculan bacaan-bacaan hasil penerbitan yang diusahakan oleh kalangan swasta. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Dr. A. Rinkes, sekretaris Balai Pustaka, sebagaimana dipetik oleh Ajip Rosidi (1969:19)
Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya,
kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat
kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar kitab
yang kurang suci dan dari orang-orang yang
bermaksud hendak mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama
dengan pengajaran itu maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang

memenuhi kegemaran orang
kepada pembaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya
menurut tertib dunia sekarang. Dalam usahanya itu harus dijauhkan
segala yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.
Garapan utama lembaga penerbitan ini ialah menerbitkan buku-buu yang dipandang baik oleh mereka, murah harganya, dengan sasaran utama kelompok masyarakat yang baru saja menguasai kemempuan membaca dan menulis (huruf latin). Kelompok ini maki banyak jumlahnya sebagai hasil pendidikan sekolah yang diselenggarakan bagi orang-orang bumiputra. Usaha pertama yang ditempuh ialah mencoba mengumpulkan serta kemudian menerbitkan cerita-cerita tradisional atau cerita rakyat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa cerita-cerita jenis itu pada waktu masih hidu dala bahasa-bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan sebagainya).
            Balai Pustaka menerapkan kebijakannya untuk tidak menerbitkan naskah yang diperkirakan akan menimbulkan masalah keagamaan, pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah dan buku-buku yang berisi penyimpangan moral. Balai Pustaka memang didirikan pada tahun 1908 dan diperluas pada tahun 1917, pekerjaan Balai Pustaka sebenarnya baru produktif sesudah tahun1920-an. Selain menerbitkan cerita-cerita rakyat, Balai Pustaka juga menerbitkan karangan-karangan baru bentuk novel. Bentuk karangan ini dikenal para pengarang kita setelah bergaul dengan sastra Barat (Belanda).
            Terlepas dari tuduhan bahwa Balai Pustaka melakukan sensor yang sangat ketat menyebabkan hasil pekerjaan penerbit melahirkan kehidupan sastra baru. Pada periode ini muncul muncul sedertan pengarang beserta hasil-hasil karya ciptaannya. Kenyataan itu menyebabkan beberapa orang ahli sastra lalu berpendapat bahwa sastra Indonesia baru (modern) dimulai pada tahun 1920-an (Iskandarwassid, dkk., 1997: 7—9).

B.     Karakter Sastra Angkatan Balai Pustaka
Pendirian Balai Pustaka mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah. Balai Pustaka dianggap sebagai awal pertumbuhan sastra Indonesia, karena pada masa inilah mulainya para pengarang mengungkapkan perasaanya serta gagasannya sendiri dalam karya ciptaannya, sehingga kita melihat adanya keanekaragaman tema dalam karya-karya mereka.
Tema-tema novel dari periode ini pada umumnya tentang kawin paksa. Simpulan itu dibenarkan. Akan tetapi, di balik “keseragaman” itu sebenarnya terdapat pula keanekaragaman. Perjodohan paksa dalam cerita-cerita itu ada yang menimpa tokoh pria, ada juga yang menimpa tokoh wanita. Atas paksaan itu, “cerita” yang menyerah, ada yang menolaknya atau berusaha berontak, ada pula yang berusaha menemukan jalan tengah. Akibat pemaksaan jodoh, cerita selalu berakhir dengan memilukan, berbagai kesedihan dan penderitaan yang harus dialami tokoh, kadang-kadang diakhiri dengan kematian tragis. Tokoh-tokoh cerita yang menang dalam menentang paksaan itu selalu berakhir dengan kebahagiaan.
Bila dihubungkan dengan situasi sosial-budaya, ramainya tema kawin paksa dalam novel-novel periode Angkatan Balai Pustaka dapat menimbulkan tafsiran sedang terjadinya gejaa perubahan, usaha menolak satu di antara tradisi pada masa itu.
Menurut adat, memilihkan jodoh untuk anak bukan suatu kesalahan, melainkan sesuatu yang benar, malah semestinya dilakukan. Oleh karena itu, kaum tua tidak pernah menganggapnya sebagai paksaan terhadap anaknya. Menurut sisi lain, kaum muda mulai merasa tidak lagi cocok dengan adat itu, mereka ingin kebebasan dalam memilih pasangan. Kawin paksa di lingkungan masyarakat Minagkabau banyak diangkat menjadi tema cerita dalam novel, karena kebanyakan pengarangnya berasal dari Minangkabau, dan sedikit sekali yang berasal dari daerah lain. Hal itu terjadi karena merekalah yang lebih mengenal tradisi menulis dengan bahasa Melayu, atau lebih terbiasa menggunakan bahasaMelayu, bahasa yang kemudian dijadikan dasar bahasa Indonesia. Perkiraan itu terlihat bandingannya ketika pada periode berikutnya, kepengarangan Indonesia sudah tidak lagi didominasi penulis-penulis asal Sumatra.
Pada perkembangan selanjutnya perkenalan dengan tradisi menulis dalam bahasa Indonesia mulai merata yang disebabkan oleh bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa persatuan dari perisiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa tersebut terjadi dalam kongres Pemuda di Jakarta  pada tanggal 28 Oktober 1928 yang diadakan oleh organisasi-organisasi pemuda yang memutuskan untuk bergabus menjadi suatu wadah yang lebih besar yang disebut Indonesia Muda.
Pernyataan bahasa persatuan tertuang dalam Sumpah Pemuda, yang bunyinya adalah sebagai berikut.

Pertama: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kedua  : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Ketiga  : kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda telah merumuskan landasan yang paling fundamental. Perwujudannya dalam bidang sastra masih memerlukan waktu, kemudian perkembangan sastra Indonesia baru itu terus berlangsung, menyertai perkembangan zaman dengan penggunaan bahasa Indonesia di dalam karya sastra.
Roman Azab dan Sengsara yang terbit pada tahun1920 sudah tidak lagi menceritakan hal–hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal–hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang memusatkan pada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasan roman Azab dan Sengsara.
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda Aminuddin dan Mariamin, karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak dibangku sekolah, tetapi akhirnya masing – masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri, yang akibatnya tak ada kebahagiaan dalam hidupnya. Pihak gadis terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintai, yang berakhir dengan perceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Novel Sitti Nurbaya mengisahkan tentang Sitti Nurbaya adalah putri Baginda Sulaiman, seorang pedagang kaya di . Gadis itu bersekolah bersama Samsul Bahri, putra penghulu Sutan Mahmud, di antara keduanya menjalin kasih sayang. Samsul ke Jakarta untuk meneruskan kuliah dokter, dan Nurbaya harus puas tinggal di kotanya, hingga Baginda Sulaiman mengalami kebangkrutan dan akhirnya terlilit hutang yang banyak dengan Datuk Maringgi dan tidak bisa membayarnya, untuk menebus hutang Baginda Sulaiman, Datuk Maringgi meminta Sitti Nurbaya menjadi istrinya, dengan terpaksa Sitti Nurbaya harus berkorban untuk ayahnya. Novel ini menceritakan kasih tak sampai serta kawin paksa yang dialami oleh Sitti Nurbaya di kalangan adat Minangkabau ((Sapardi J.D, 1979: 21).
Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tetapi mengemukakan manusia- manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakaan bangsawan, adat yang tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tertentu tercapai. Persoalan – persoalan itulah yang ada dalam masyarakat.
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan  percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik; gaya bahasa yang digunakan karya–karya Angkatan Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise, menggunakan banyak pepatah – pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari–hari. Alur yang dipakai adalah alur datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh – tokohnya selalu orang-orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya dalam permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah seperti fisik yang dimunculkan dalam karya – karya Balai Pustaka. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis. Kadang banyak alur yang menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka digemari rakyat pedesaan dan rakyat kota yang  priyayi. Roman–roman Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran – pikiran sosial dan politik bangsanya.
Ciri – ciri karya sastra prosa Angkatan Balai Pustaka secara umum, yaitu:
  1. Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk perpaduan
  2. Bersifat kedaerahan
  3. Tidak bercerita tentang Kolonial Belanda
  4. Kalimat–kalimatnya panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan – ungkapan klise.
  5. Corak lukisan adalah romantis sentimental.
Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Pustaka secara khusus, yaitu:
1.      Gaya Bahasa               : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.      Alur                             : Alur Lurus.
3.      Tokoh                          : Plot karakter (digambarkan langsung oleh narator).
4.       Terdapat digresi          : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
5.      Pusat Pengisahan        : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama
6.       Corak                          : Romantis sentimental.
7.       Sifat                            : Didaktis (pendidikan)
8.       Latar belakang sosial: Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9.       Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10.    Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11.    Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dan lain-lain.
12.    Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

Perintis puisi baru pada angkatan 1920 adalah Moh. Yamin, beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama, karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia, pembaharuannya dapat dilihat dari kumpulan puisi Tanah Air pada tahun 1922.
Berikut ini catatan puisi Moh. Yamin :
Di atas batasan bukit barisan
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Dari segi isi, puisi ini merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia yang rindu pada keagungan yang Maha Kuasa. Dari segi bentuk, jumlah barisnya tidak lagi empat baris, seperti syair dan pantun dan persajakannya (rima) tidak sama.
Puisi berikut merupakan karya Rustam Effendi :
Bukan beta pijak berperi
Bukan beta pijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak berperi,
Musti menurut undangan mair,
Sarat – saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Dilihat bentuknya, puisi tersebut seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya, seperti syair, ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern, yang lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
C.    Sastrawan Angkatan Balai Pustaka
Di bawah ini disajikan riwayat hidup para pengarang angkatan Balai Pustaka secara singkat dan berikut nama-nama pada masa Angkatan Balai Pustaka.
1.      Abdul Muis
            Abdul muis lahir pada tanggal 3 juni 1883 di bukittinggi, Sumatera Utara. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Sejak remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Jawa. Bahkan , masa tuanya pun dihabiskan diperantauan. Sastrawan yang sekaligus pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan dua orang istri dan 13 anak .
            Abdul Muis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun. Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dari sekolah tersebut.pada tahun 1917 ia sempat ke Negeri Belanda untuk menambah pengetahuan.
            Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dari ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Oleh karena itu, begitu keluar dari Stovia, ia diangkat oleh Mr.Abendanon, Directur Onderwijs (Direktur Pendidikan) pada Department van Onderwijs en Eredients yang kebetulan membawahi stovia, menjadi klerk. Konon, Abdul Muis orang Indonesia pertama  yang dapat menjadi klerk.
            Pengangkatan Abdul Muis menjadi klerk tersebut ternyata tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda. Hal ini membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dari department itu setelah dijalaninya lebih bkurang dua setengah tahun(1903-1905).
            Pada tahun 1905 ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Karena tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan ini ditekuninya selama kurang lebih lima tahun, sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur.
            Bakat kepengarangan Abul Muis sebenarnya baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan. Ia menulis banyak hal, salah satu diantaranya dalah roman sejarahnya, Surapati. Sebagai sastrawan, Abdul Muis tergolong kurang produktif. Menurut catatan yang ada, ia hanya menghasilkan empat buah novel/roman. Konon, karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu.
2.      Marah Rusli (1889-1968)
Nama lengkapnya Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 agustus 1889. Nama samarannya adalah Sadi B. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan, ayahnya bernama Sultan Abu Bakar seorang demang dengan gelar Sultan Pangeran. Gelar “marah” dalam adat Min angkabau diberikan kepada anak laki-laki dari perkawinan antara suami bergelar Sutan(bangsawan) dengan istri  ya ng tidak bergelar Puti(putri bangsawan).
            Pada tahun 1911 Marah Rusli menikah denagn seorang gadis Sunda. Perkawinan ini tidak setahu dan seizin kedua orang tua. Dari perkawinan itu, dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan.
            Setelah menamatkan studinya ia pulang kekampung dengan tidak membawa keluarganya. Sesampainya dikampung, ia dijodohkan sama orang tuanya jkepada perempuan yang tidak ia kenali. Semua alasan ia untuk menolak perkawinan itu tidak diterima oleh orang tuanya. Setelah upacara pernikahan, Marah Rysli langsung menjatuhkan talak tiga kepada istri yang baru dinikahi dia. Orang tua Marah Ruslipun semakin marah, Marah Rusli npun kembali ke Bogor tanpa pamit kepada orang tuanya. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 januari 1968 di bandung .
            Marah Rusli sekolah di Rofdenschool ‘sekolah raja’ di Bukittinggi, tamat tahun 1910. Oleh karena Marah Rusli berprestasi, ia dianjurkan olehb gurunya yang bernama Hoornsma untuk belajar ke negeri Belanja. Akan tetapi, orang tuanya tidak mengizinkan.
            Tamat dari sekolah dokter hewan di Bogor, Marah Rusli diangkat menjadi ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Pada tahun 1916 Marah Rusli menjabat kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandungkemudian mengepalai daerah perhewana di Blitar. Tahun 1920 menjadi asisten leraar ‘dosen’ kedokteran hewan di Bogor. Tahun 1921 menjadi dokter hewan di jakarta. Tahun 1925 pindah ke Baliga(Tapanuli).
            Sejak tahun 1920 Marah Rusli dianggap sebagai pengarang roman yang pertama dalam sejarah sastra indonesia modern. Marah Rusli sebagai tokoh yang terpenting pada generasi Balai Pustaka dan menjadi pelopor kesusasteraan Indonesia modern. Kepeloporannya ini karena lahirnya prosanya, yaitu Siti Nurbaya, isinya begitu luas dan permasalahannya sangat penting, yaitu masalah adat kebiasaan kedaerahan yang zamannya masih kuat membelenggu manusia-manusia Indonesia.
3.      Nur Sutan Iskandar (1893-1975)
            Nur Sutan Iskandar dilahirkan di Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat, pada tanggal 3 november 1893. Nama sebenarnya adalah Muhammad Nur. Karena saat menikah diberi gelar Sutan Iskandar, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar(Tarma, No.3, Maret 1962).
            Pada tahun 1919 Nur Sutan Iskandar mulai meninggalkan kampung halamannya. Ia merantau ke pulau Jawa. Pada tahun 1930-an saat mengikuti Kongres Pemuda di Surabaya, ia sempat berkenalan dengan Dokter sutomo, tokoh pendiri Budi utomo.
            Jiwa kepengarangannya berkembang karena mendapat dorongan dari istri, Aminah dan kelima anaknya. Tokoh pengarang angkatan balai pustaka yang seangkatan dengan Merari Siregar,Marah Rusli, dan Hamka itu menuinggal pada ta nggal 28 november 1972 di Jakarta.
            Nur Sutan Iskandar menamatkan pendidikan sekolah rakyatnya pada tahun 1909 di Sungaibatang. Meskipun hanya berijazahkan sekolah dasr, Nur Sutan Iskabndar dikenal sebagau orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Sambil bekerja tak henti-hentinya, ia terus berusaha menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun nonform,al.
            Nur Sutan Iskandar mulai bekerja sejak 17 tahun, meskipun sebagai guru bantu. Pada vtahun1911 bari ia secara resmi diangkat sebagai guru di Sekolah Rakyat Muarabliti, Padang. Pada tahun 1919 Nur Sutan Iskandar meninggalkan kota Padang, hijrah ke Jakarta, ia bekerja di balai pustaka. Berkat ketekunan dan kepiawiannya, pada tahun 1925 ia diangkat sebagai pemimpin redaksi balai pustaka. Pada tanggal 22 agustus 1968 Nur Sutan Iskandar mendirikan yayasan, yang diberi nama yayasan Nur Sutan Iskandar.
            Menurut pengakuannya, mengarang merupakan kegemaran Nur Sutan Iskandar sejak kecil. Sayang, pengakuannya tidak didukung dengan bukti yang konkret. Yang pasti karya-karyanya baru muncul pada tahun 20-an, sekalipun tidak tertutup kemungkinan bahwa karya itu ditulis jauh diterbitkan.
4.      Roestam Effendi
            Roestam Effendi lahir pada tanggal 13 mei 1903 di Padang, Sumatera Barat dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 mei 1979. Rustam Effendi adalah tamatan Sekolah Raja (kweekschool) Bukittinggi. Rustam kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers(HKS) ‘Sekolah Tinggi untuk Guru Bumiputra’ Bandung. Pada tahun 1926, ia meninggalkan Indonesia, pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikannya.
            Setelah tamat dari HKS Bandung, sebelum berangkat Negeri Belanda, Rustam sempat beberapa lama menjadi guru kepala sekolah di Padang, di samping bebas menulis, ia juga sempat terjun di dunia jurnalistik dan politik. Pada tahun 1926 ia pergi ke negeri Belanda dan bergabung dengan partai komunis nederland.
            Pada masa awal kepengarangannya, dalam menulis ia sering menggunakan nama samaran Rahasia Emas, Rantai Emas, dan Rangkayo Elok. Konon, sajak-sajak yang dimuat asjraq itulah yang menjadi cikal-bakal percikan permenungan.
5.      Merari Siregar
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April 1941). Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelab dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok.
Ia pernah bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923 Merari Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif memperakiekkan politik etis Belanda.
Merari Siregar mulai bekerja setelah menyelesaikan  sebagai guru bantu di Medan kemudian pindah bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura, dan bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Roman Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920  ini merupakan roman yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini   mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Gambaran itu semakin nyata terlihat pada roman Siti Nurbaya yang merupakan karya puncak Angkatan Balai Pustaka. Di samping itu, Azab dan Sengsara ini adalah peniup terompet pertama yang menyuarakan peftentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama.
Tampaknya, buku Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak masa kedil. Awal penulisan Azab dan Sengsara bersamaan waktunya dengan penyaduran buku yang kemudian terkenal dengan nama Si Jamin dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Roman Azab dan Sengsara itu rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis Batak yang bernama Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan hal tersebut.
 Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-­tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini  meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang.
Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul perasaan itu tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
6.      Muhammad Yamin
Penyair yang dikenal sebagai pemula bentuk soneta dalam kesusastraan Indonesia modern ini dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo, kemudian dia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta.
Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) - Sekolah Menengah Umum - di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Jong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926-1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932-1938).
Pada tahun 1938-1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Ketika kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961-1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun, yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 , Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia.

7.      Djamaluddi Adinegoro
Adinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin (Anita K.R., 1997:55)
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
Adinegoro kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance journalist) pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana , hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
8.      Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal pada zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
5. Aman Datuk Madjoindo
Aman Datuk Madjoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatera Barat, 5 Maret 1896 – meninggal di Sirukam, Solok, Sumatera Barat, 5 September 1969 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Satu di antara karyanya yang terkenal adalah Si Doel Anak Betawi, yang kemudian dijadikan film Si Doel Anak Betawi oleh sutradara Syumanjaya, dan menjadi inspirasi sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Aman pernah mengenyam pendidikan di HIS di Solok, serta Kweekschool (Sekolah Raja) di Bukittinggi. Setelah lulus sekolah dia sempat menjadi guru di Padang di tahun 1919 sebelum pindah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka pada tahun 1920. Pada awal masuk Balai Pustaka Aman pertama kali bekerja sebagai sebagai korektor, sebelum menjadi ajudan redaktur dan kemudian redaktur. Dia juga pernah menjabat direktur penerbit Balai Pustaka.
D.    Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka

1.      Karya-karya Abdul Muis (1883-1959)
Abdul Muis hanya menghasilkan tidak lebih dari dua puluh karya, baik karya asli, saduran, maupun terjemahan .Berikut adalah daftar karya-karyanya.
a.       Tom Sawyer AnakAmerika (1928)
b.      Sebatang Kara (1949)
c.       Hakiyat Bachtiar  (1950)
d.      Hendak Berbakti (1951)
e.       Kita dan Demokrasi (1951)
f.        Robert Anak Surapati (1953)
g.      Hikayat Mordechai (1956)
h.      Kurnia (1958)
i.        Pertemuan Djodoh (1961)
j.        Surapati (1965)
k.      Salah Asuhan (1967)
l.        Cut Nyak Din
m.    Don Kisot
n.      Pangeran Kornel
o.      Daman Brandal Sekolah.


2.       Karya-karya Marah Rusli (1889-1968)

a.       Siti Nurbaya (1920)
b.      La Hami (1924), dan
c.       Anak dan Kemenakan (1956), (Padi, 2013:50)

3.      Karya-karya Adinegoro (1904-1967)
a.       Novel
1)      Darah Muda (1931)
2)      Asmara Jaya (1932)
3)      Melawatke Barat (1950)

b.      Cerita dalam Majalah
1)      “BayatiesKopyor”,hlm 3- 4, 23 (1961).
2)      “Etsuko”,hlm 2- 3,31 (1961)
3)      “Lukisan Rumah Kami”,hlm 17- 18 (1963)
4)      ”Nyanyian Bulan April”,hlm 2- 3(1963).

4.      Karya- karya Muhammad Yamin (1903- 1962)
a.       Puisi
1)       Indonesia, TumpahDarahku (1928)
b.      Drama
1)      Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
2)      Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932)

c.       Terjemahan
1)      Julius  Caesar (1952)
2)      Menantikan Surat Dari raja (1928)
3)      Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga
4)      Tan Malaka (1945)

d.      Sejarah
(1)   Gadjah Mada (1945)
(2)   Sejarah Pangeran Diponegoro (1945)

5.      Karya- karya Nur Sutan Iskandar (1893- 1975)

a.       Karya Asli
1)      Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1923)
2)      Cinta yang Membawa Maut (1926)
3)      Salah Pilih (1928)
4)      Abu Nawas (1929)
5)      Karena Mertuan (1932)
6)      Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
7)      Dewi Rimba (1935)
8)      Hulu balang Raja (1934)
9)      Katak Hendak Jadi Lembu (1935)
10)  Neraka Dunia (1937)
11)  Cinta dan Kewajiban (1941)
12)  Jangkir Bali (1942)
13)  Cinta Tanah Air (1944)
14)  Cobaan (TuruhkeDesa) (1946)
15)  Mutiara(1946)
16)  Pengalaman Masakecel (1949)
17)  Ujian Masa(1952)
18)  Megah Cerah kelas II (1952)
19)  Megah Cerah kelas III (1952)
20)  Peribahasa (1946)
21)  Sesalanm Kawin (t.t)

6.      Karya-karya Tulis Sutan Sati
a.       Tak Disangka (1923)
b.      Sengsara Membawa Nikmat (1928)
c.       Syair Rosina (1933)
d.      Tjerita Si Umbut Muda (1935)
e.       Tidak Membalas Guna
f.        Memutuskan Pertalian (1978)
g.      Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)
7.      Karya-karya Rustam Effendi
a.       Bebasari (drama, 1926)
b.      Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1926), ( Anita K.R, 1997:53)

8.      Aman Datuk Madjoindo
Ada lebih 20 buku yang telah dikarang Aman Datuk Madjoindo. Si Doel Anak Betawi ditulis pada tahun1956. Namun jauh dia sebelumnya telah menulis berbagai cerita lain, di antaranya :
a.       Menebus Dosa (1932),
b.      Rusmala Dewi (1932, bersama S. Hardjosoemarto),
c.       Sebabnya Rafiah Tersesat (1934, bersama S. Hardjosoemarto),
d.      Si Cebol Rindukan Bulan (1934),
e.        Perbuatan Dukun (1935), dan
f.        Sampaikan Salamku Kepadanya (1935).


DAFTAR PUSTAKA
Iskandarwassid. 1997. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Joko. 1979. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rustapa, Anita K., dkk. 1997. Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Padi, Editorial. 2013. Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia. Jakarta: Ilmu Padi Infra Pustaka Makmur.



Comments

Popular Posts