MIMPI (Tentang Pelangi Seusai Hujan)
Tidak ada yang tahu
kalau nasibnya akan semujur ini. Cinta yang diputuskan begitu saja dan kegagalan
berkali-kali masuk universitas membuatnya kuat. Kuat, sekuat baja. Dia telah
membopong hatinya dengan sejuta mimpi dan harapan.
~~~~
Mauni menekuri tugas laporan kimia di meja belajarnya sembari mengingat
penelitian yang dilakukannya di laboratorium kemarin. Ia bertekad ingin menjadi
seorang scientist, meskipun pada
awalnya ia hanya asal-asalan memilih prodi Kimia. Pilihan hidup hanya dua, kita
yang akan menyerah pada nasib ataukah kita yang memperjuangkan nasib? Begitu
gema suara dalam hati Mauni. Dia tidak pernah menyalahkan nasib karena menjadi
yatim dan miskin. Bukankah kita tidak bisa meminta terlahir dengan sesuatu,
tapi kita dapat mati meninggalkan sesuatu? Karena setiap manusia diciptakan
memiliki pikiran juga hati, dan yang tidak kalah penting bahwa hidup harus
punya mimpi.
Mauni sekarang bersyukur karena dulu, Yanto-lah yang meminta hubungan
mereka berakhir di penghujung masa SMA. Awalnya Mauni kesulitan menerima
keadaan tersebut karena mimpi-mimpi yang terlalu awal dirajut bersama
membuatnya berat hati menerima keputusan itu. Mauni sempat berpikir, Yanto
memutuskannya karena ia tidak memiliki masa depan. Mauni memang tidak tahu
apakah dia akan melanjutkan kuliah atau tidak, tapi baginya biaya kuliah sangat
mahal. Sedangkan Yanto akan melanjutkan pendidikannya di fakultas kedokteran
swasta di Semarang. Mauni dan Yanto akhirnya membuat keputusan yang tepat,
menjalani kehidupan masing-masing dan mencapai impiannya.
Sebelum SMA berakhir, Mauni dan teman-temannya telah mengejar beasiswa
dari pemerintah untuk anak kurang mampu yang ingin melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Mungkin nasib belum berpihak padanya, dia gagal pada tes
wawancara masuk farmasi. Setelah kejadian itu, dia tidak patah semangat untuk
mengikuti tes masuk perguruan tinggi lainnya di Pontianak, walaupun jika
benar-benar lulus, ia tidak tahu akan membayar daftar ulang menggunakn uang
siapa. Tanpa disangka-sangka, akhirnya Mauni lulus di prodi Kimia yang sebenarnya ia hanya asa-asal
memilih karena sudah terlalu banyak mengikuti tes. Mauni terpekur dalam
renungannya, dia tidak tahu akan membayar daftar ulang menggunakan uang siapa,
sedangkan untuk mengikuti tes di Pontianak saja dia hanya menggunakan uang
tabungan yang seadanya.
Winisa sahabatnya yang sama-sama mendaftar kuliah lebih beruntung
karena dari awal sudah lulus mendapatkan beasiswa dari pemerintah – menemaninya
melengkapi berkas daftar ulang. Mereka berteduh di bawah pohon akasia di dekat
tempat fotokopi.
“Aku bingung Win, aku bingung gimana caranya membayar daftar ulang
ini?” tanya Mauni dengan mata yang merah dan air mata yang hampir menitik.
“Udah, sabar dulu, nanti kita minta keringanan, siapa tahu nanti uang
daftar ulangnya bisa dicicil,” jawab Win menenangkan Mauni.
“Jumlahnya tiga juta lebih Win, kau tahu kan, aku tidak punya uang
sebanyak itu,” kata Mauni yang hampir sesegukan.
“Iya Ni, aku tahu. Sekarang kita kumpulkan dulu berkasmu supaya tidak
bingung lagi, setelah itu kita coba nanya-nanya yuk, gimana caranya meminta
keringanan bayar daftar ulang,” jelas Win untuk meyakinkan sahabatnya.
“Baiklah kalau begitu,” kata Mauni sambil berjalan menuju kantor
administrasi untuk melengkapi berkas bersama dengan Win.
Mereka berjalan menyusuri koridor kantor, sambil membaca pengumuman
yang banyak tertempel di papan informasi. Tanpa sengaja Mauni menemukan
informasi beasiswa untuk mahasiswa yang sudah lolos seleksi perguruan tinggi
dan biaya daftar ulang ditanggung oleh pemerintah. Mauni melihat batas
pendaftarannya berharap informasi tersebut masih berlaku, ternyata batas waktunya
tinggal dua hari lagi. Ia pun mengucek matanya takut keliru dan hanya akan
menambah kecewa, dia pun memanggil Win.
“Win, info ini masih berlaku kan, Win?” tanya Mauni dengan harap-harap
cemas.
Win pun membaca pengumuman itu dengan perasaan yang berdebar-debar,
mengiyakan dan memeluk sahabatnya itu. Akhirnya Mauni memiliki jalan keluar
untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Dengan sumringah mereka menuju kantor
penerimaan beasiswa yang tercantum di kertas pengumuman itu. Mauni mengisi biodata
dan melengkapi berkas yang tidak sederhana jumlahnya. Hari sudah terlalu sore,
kantor pun hampir tutup, mereka dengan cepat melengkapi berkas-berkas yang
diperlukan. Mauni berharap mendapatkan beasiswa itu. Tidak lebih dari seminggu,
pengumuman penerima beasiswa diumumkan. Sesuai dengan harapan, Mauni berhasil
mendapatkan beasiswa dan tidak perlu memikirkan uang daftar ulang karena
semuanya akan ditanggung pemerintah beserta uang jajan tiap bulan. Mauni sangat
bersyukur, Tuhan selalu membantunya.
Tidak terasa sudah dua tahun Mauni tinggal di Pontianak menempuh
pendidikan tinggi. Ia tidak pernh berniat sedikitpun menyiakan kesempatan.
Kegiatan kampus dan organisasi selalu diikutinya. Sampai suatu ketika lomba
karya tulis ilmiah menghampirinya. Mauni dan teman-temannya membuat karya tulis
tentang sajadah aromatherapy sehingga
membawanya terbang menuju kota Jember untuk mempresentasikan karya tulisnya.
Tak pernah sekali pun Mauni membayangkan akan naik pesawat sebelumnya,
sedangkan untuk pulang kampung saja ia harus berpikir sepuluh kali tentang
biaya. Setelah pulang dari Jember, Mauni semakin giat mengikuti banyak lomba
karya tulis. Ia pun menjadi finalis yang diundang ke Semarang. Tanpa
direncanakan, Mauni yang sedang berceloteh dengan teman-temannya ketika
memasuki sebuah cafe – saling beradu pandang dengan Yanto yang sedang menikmati
makan siangnya.
Kita tidak akan pernah tahu, dengan siapa kita akan bertemu, tapi
setiap pertemuan memiliki alasan. Begitulah pikir Mauni. Mereka dipertemukan di
Semarang sebenarnya adalah alasan Mauni untuk bersyukur karena kisah cinta yang
telah berakhir itu mengantarnya pada kesibukan yang bermanfaat sehingga
membawanya ke sebuah kota yang belum pernah dikunjunginya.
Memasuki kuliah semester lima, Mauni semakin menjadi pribadi yang luar
biasa, ia dikenal sebagai senior yang ramah dengan segudang prestasi. Beberapa
bulan yang lalu, dia mengikuti kegiatan pekan ilmiah mahasiswa di kota Kendari.
Berawal dari kenginan memiliki mantel yang syar’i, ia dan teman-temannya
menulis karya ilmiah dan terciptalah sebuah inovasi mantel untuk para
perempuan. Walaupun tak menjadi pemenang, Mauni mengakui mendapat banyak
pengalaman dari kegiatan yang diikutinya dan akan menjalankan bisnis pembuatan
mantel syar’i-nya. Ia menerima pesanan pembuatan mantel untuk para perempuan,
khususnya yang berhijab syar’i. Mauni semakin gigih meraih prestasi dan
cita-citanya menjadi seorang scientist,
walaupun pada awalnya ia hanya coba-coba memilih prodi yang kini dijalaninya.
Mauni menjalani takdir yang telah digariskan dengan sejuta mimpi dan harapan.
Jika pelangi itu indah, dan hujan adalah badai cobaan yang harus
dilalui, bukankah kita membutuhkan hujan untuk melihat pelangi di langit cerah?
Seperti itu juga hidup. Mauni mengerti kisah cinta SMA yang berakhir begitu
saja dan kegagalan yang berulang kali dihadapinya adalah rintik yang belum
usai. Dia yakin titik-titik air masih mengumpul di atas awan, banyak badai yang
masih menantangnya di depan. Hidup hanya berani bermimpi, bahwa kita tak akan menyerah
pada nasib dan harapan.
Karya: Siwi Annisa
Comments
Post a Comment