Larungan Doa di Bumi Terigas
Hada
menutup pintu dengan keras dan mengunci diri di dalam kamar. Ayahnya hanya
mengusap dada menyabarkan hati ketika anaknya berlaku demikian. Tak pernah ia
membayangkan anaknya begitu kasar kepadanya, apakah mungkin dia salah mendidik
Hada? Apakah ini semua karena Ibunya sudah tidak ada lagi? Pak Zuhri
membayangkan jika Yus, istrinya masih ada, Hada tak akan sekasar itu kepadanya.
Yus betapa penyayang menjadi seorang ibu dan istri. Tetapi, Yus telah menghadap
keharibaan-Nya tiga tahun yang lalu, ketika Hada akan masuk SMA.
Hada
memutar gasing-gasing yang dibuat abangnya dari pohon asam jawa. Sudah dua hari
ia tak ingin keluar kamar, egonya mengalahkan rasa lapar yang dari kemarin
menusuk-nusuk lambungnya. tak pernah ia dibiarkan merajuk seperti ini. Sang ayah
dan abangnya selalu membujuk untuk makan, hingga merajuknya hilang dan
keinginannya terpenuhi. Selalu begitu, Hada berharap demikian lagi.
Keinginannya untuk melanjutkan kuliah ke Jogja tak diberikan izin oleh ayahnya.
Sudah
dua hari juga Pak Zuhri tak berhenti memikirkan anaknya, Hada. Mengapa anaknya
tak bisa melihat keadaan orang tua yang hanya pedagang buah musiman. Bahkan
jika Hada kuliah di Sambas saja sesuai usulan Pak Zuhri untuk mengambil jurusan guru agama, Pak Zuhri harus menyabung
nyawa untuk membiayai kuliahnya, apalagi di kota orang.
Hada
memandang keluar jendela kamarnya, ia disambut riak-riak sungai Teberau1
yang menemaninya setiap hari. Ada keinginannya untuk bermain air di luar, tapi
niat itu diurungkannya. Bukankah besok jika ayah telah mengizinkanku aku dapat
bermain air dengan puas? Menyingsing lengan baju dan celana sampai lutut,
merendam kaki sambil seolah-olah berjalan lalu mendengar kecipak air yang
mengenai kaki, bukankah hal itu sangat menyenangkan?
Dari
seberang terlihat oleh Hada, ayahnya dengan Honda Grand miliknya menanjak
jembatang nibung2 yang menghubungkan dua dusun di samping rumah
mereka. Hada buru-buru merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan berharap
ayahnya tadi tak melihat dirinya.
Terdengarlah
suara salam Sang Ayah sambil membuka pintu rumah. Hada hanya menjawab dalam
hati. Sebenarnya ia juga tidak tega merajuk seperti itu kepada ayahnya, tetapi
hatinya benar-benar ingin melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran di Jogja. Ia
tidak mau kuliah di daerah. Batinnya merasa tak terpanggil menjadi guru.
“Nong3,
yuk kita makan sama-sama, ayah telah membeli gulai pakis kesukaanmu,” bujuk Pak
Zuhri mengajak Hada untuk keluar kamar dan makan bersama.
Hada
enggan sekali mengiyakan ajakan ayahnya, tetapi lambungnya memaksa untuk diisi.
Melihat tidak ada tanda-tanda Hada untuk keluar kamar, pak Zuhri akhirnya makan
bersila sendiri.
Semenjak
Zamhari, anak pertama Pak Zuhri menikah maka, hanya Pak Ia dan Hada lah yang
tinggal di rumah Gek Marek4.
Rumah besar, hampir semua dari pondasi, tiang, dinding, hingga lantai dari kayu
belian5. Rumah itu
memiliki pintu utama, dan pintu-pintu tambahan di samping pintu utama, undakan
tiga anak tangga dari ruang tamu ke ruang tengah, ruangan yang besar dan
langit-langit yang tinggi, khas rumah orang Melayu zaman dulu. Sebenarnya rumah
itu juga merindukan gelak tawa dan bahagia penghuni rumah, seperti dulu saat Yus,
istri Pak Zuhri, masih ada.
Setelah
sekian lama berpikir, Hada akhirnya mengalah dengan keadaan, ia memaksakan
dirinya untuk keluar dari kamar. Sambil berjingkat-jingkat ia mencuci tangan,
mengambil nasi dan gulai, lalu masuk ke kamar kembali. Pak Zuhri yang baru
selesai sholat Zuhur pun geli melihat tingkah anaknya yang masih pura-pura
merajuk.
Selesai makan, Hada mencuci
piringnya di dapur, dan berpapasan dengan ayahnya yang ingin mandi ke jamban6.
“Jangan lupa sholat zuhur, Ngah7, sudah hampir pukul
satu, tadi Lisa dan Hilda mengajak ke keraton katanya mau nonton lomba sampan,”
kata Pak Zuhri
“iya, Yah,” jawab Hada singkat.
Hada kemudian sholat, dan berkemas
untuk pergi ke keraton Sambas bersama kedua temannya untuk menyaksikan lomba
sampan bedar8 se-Kalimantan Barat di muare ulakan9. Sebelum Hada berangkat Pak Zuhri berpesan
untuk hati-hati dan belajarlah dari pengalaman yang dilihat, dirasakan, dan
didengar, serta bercerminlah pada diri sendiri. Hada yang tidak mengerti maksud
ayahnya, hanya mengiyakan saja pesan ayahnya.
Hada
dan temannya memutuskan untuk pergi menggunakan perahu, karena sudah lama tidak
sengayohan10 di sungai,
tidak lupa mereka membawa perbekalan seperti makanan dan minuman di perahu. Ternyata tidak disangka-sangaka ramai
sekali yang menonton lomba sampan, tidak hanya Hada dan temannya yang pergi
menggunakan perahu, banyak orang juga menggunakan perahu hingga bangkong11. Sampai di depan
keraton, manusia seperti ulat bulu menggeliat di antara manusia lain untuk
menyaksikan lomba perahu yang sangat jarang seramai ini. Di jalan, di sungai,
di halaman keraton, bahkan di warung-warung dadakan juga ramai sekali manusia
berkerumun.
Saat
sedang asyiknya menyaksikan lomba sampan, Hada kehausan, tetapi air bekalan
sudah habis. Akhirnya Hada naik ke seteher12
untuk membeli minuman. Hada melihat dari sudut mana pun orang sangat ramai
dalam memeriahkan acara ini yang diadakan tiga tahun sekali, mata Hada tertuju
pada orang-orang di halaman keraton. Mereka berfoto bersama keluarga di depan
masjid Jami’ dan di dekat meriam, selain itu ada yang pergi ke dalam keraton.
Mereka tampak bahagia sekali beramai-ramai bersama keluarganya. Setelah membeli
minuman Hada kembali ke perahu, kemudian ia mengingat-ingat apa yang
dibicarakan oleh ayahnya sebelum berangkat tadi. Tetapi dia masih belum
mengerti apa maksud dari pesan ayahnya.
Lomba
sampan semakin seru, ketika tim dayung Kijang Berantai menduduki posisi paling
awal, dan disusul oleh tim dayung Todak yang sama-sama utusan dari Sambas,
kemudian disusul oleh tim dayung dari Kabupaten Mempawah, dan kabupaten lainnya.
Semangat semakin menggebu dari tuan rumah. Akhirnya tim dayung Kijang Berantai dari
bumi terigas13 mendapatkan juara satu dari lomba sampan bedar
se-kalimantan barat.
Senja
semakin menua, Hada dan temannya memutuskan untuk langsung pulang ke rumah.
Ketika sampai di rumah, Hada masih berkeinginan untuk bermain air di jamban tepian sungai. Angin sore yang
sepoi-sepoi menambah indah suasana sore itu, air pasang dengan bunyi kecipak
dari kaki Hada membuatnya merindukan masa kanak-kanaknya.
Ibu,
aku tak kecil lagi
Jiwaku
ingin berkelana
Setiap
hari kularung mimpi, dulu bersamamu
Bukankah
aku sudah punya dua kaki dan dua tangan
Impian
ini adakah terlalu tinggi untukku?
Teberau
menyepi dan langit terigas mendengar selarik doa yang dilarung Hada pada
riaknya. Ia berharap doa itu didengar ayahnya yang tak mengizinkan ia pergi
merantau. Sungai inilah yang selalu menjadi curahan hatinya untuk berbagi
kisah. Semenjak ibunya meninggal Hada lebih senang bermain air, bercermin
dikejernihan sungai, merendam kakinya, dan mendengar kecipak air membuatnya
merasa bersama ibunya. Tetapi sejak ibunya tidak ada lagi, ia merasa sepi dan
riak sungai ini mengerti kemuramannya, karena teberau lah yang selalu
menyaksikan kebersamaan ia dan ibunya. Mandi, mencuci, menikmati sore
diperanginan, bahkan mengayuh perahu sampai di pusaran tiga sungai selalu Hada lakukan
bersama ibunya, dulu, indah sekali.
Sekarang
ia merasa sendiri, ketika abangnya juga pergi merantau dan menikah, dan ayahnya
yang jarang di rumah. Diperhatikannya aliran sungai yang ke hulu, burung-burung
gereja yang beterbangan melintasi orang yang pulang menajur14 dan hinggap di atap lanting15 pinggiran sungai. Masjid Nurul Khair yang
berseberangan dan disampingnya ada jembatan nibung yang masih berdiri tegap,
tempat muda mudi bersantai sore di peranginannya. Sungguh indah sore ini Hada
membatin.
Pak
Zuhri melihat anak gadisnya yang sedang bermain air berniat mendekat.
“Kenapa
melamun Ngah, sana pergi mandi, udah
mau magrib”, kata pak Zuhri
“Sorenya
indah ya yah, indah lagi kalau ayah mengizinkan Hada kuliah di Jogja,” jawab
Hada sekenanya.
“Ya
sudah, Angah mandi dulu, nanti kita
bicarakan lagi masalah ini, lagian ini sudah mau masuk waktu maghrib,” pinta
Pak Zuhri.
“Baik,
Yah, Hada mandi dulu ya,” jawab Hada dengan anggukan sambil berlalu.
Bulan
mulai mewujudkan dirinya, Hada celingak-celinguk dari jendela kamar, ia
menikmati bayangan romansa bulan
keperakan dari ketenangan teberau menjelang isya. Indah sekali batinnya.
“Nong,
ayah mau bicara, mari duduk di sini,” pinta Pak Zuhri
Hada mengiyakan ajakan ayahnya, dan
mendengar dengan seksama pembicaraan itu. Pak Zuhri menganggap cita-cita Hada
begitu mulia untuk menjadi dokter, tetapi apalah dayanya hanya pedagang buah
musiman, tak akan mampu membiayai kuliah anaknya. Bahkan Hada tahu pasti
penghasilannya perhari yang tidak menentu. Apakah anaknya tidak memahami hal
itu? Bukankah jika Hada kuliah ke Jakarta, maka dia akan seorang diri dalam
rumah sebesar itu? Tidakkah Hada merasa sedih meninggalkannya di usia yang
semakin senja? Pak Zuhri hanya memiliki Hada lagi, sedangkan Zamhari telah
membangun rumah tangga di negeri jiran bersama istrinya. Siapa lagi yang bisa
Ia harapkan kalau bukan anak keduanya? Apakah Hada tak mengerti bahwa kebersamaan
itu sangat mahal harganya, walau hanya berdua dengan ayahnya. Seperti Zam yang
belum bisa menjenguk pulang orang tuanya karena masalah biaya. Apakah Hada tak
melihat kebersamaan keluarga yang begitu mesra jika bersama, seperti yang
dilihatnya pada acara sore tadi. Tetapi Pak Zuhri tidak ingin membuat anaknya
kecewa dan mengurung diri di kamar lagi. Rasa sayang Pak Zuhri pada Hada mengalahkan
segalanya. Dia hanya meminta Hada untuk berpikir lagi dan berdoa agar
cita-citanya terwujud. Jika mengharapkan Pak Zuhri yang membiayai itu semua,
rasanya mustahil. Hada diminta ayahnya untuk
meminta kepada pemilik semesta, untuk terus berdoa, dan berikhtiar.
Bukankah Allah akan mengabulkan setiap doa? Bukankah setiap permasalahan selalu
ada jalan? Pak Zuhri menginginkan anaknya untuk menyerahkan semuanya pada
Allah, Allah pasti memberikan keputusan terbaik untuk kita. Jika kita terus
berdoa dan berusaha, maka mudah bagi Allah memberikan apa yang kita minta.
Pesan ayahnya masih berdengung di
telinga Hada, malam ini dia mulai mengerti bahwa yang diinginkan tidak semuanya
dapat dicapai, kita hanya merencanakan tetapi Allah yang memberikan keputusan
terbaik. Kita hanya dapat meminta dan berdoa, Allah selalu mendengar doa
hambanya. Doa-doa yang dilarung dalam kepasrahan hati akan digenggam olehNya,
maka pada waktu yang baik akan dihadiahkan seperti hujan. Ya, seperti hujan,
nikmat Tuhan begitu indah tak dapat didustakan.
Hada mengingat peristiwa tiga bulan
lalu sebelum ujian, dia sempat mengirimkan berkas beasiswa kedokteran ke Universitas
Gajah Mada dan Universitas Tanjungpura, yang akan diumumkan pada bulan depan.
Setelah mengingat itu, Hada berpikir bahwa masih ada peluang untuk meminta
kepada Allah dan terus belajar untuk mengikuti tes. Sejak malam itu Hada
mencurahkan isi hatinya kepada Sang penggenggam doa. Hada merasa sejak tiga
bulan lalu dia benar-benar lalai, tidak sekalipun menyelipkan doa pada sujud
terakhirnya. Setiap malam Hada bangun untuk qiyamul
lail16 dan meminta kepadaNya.
Sebulan pun menjelang. Hada membuka
surat dari sekolahnya, hatinya berdegup tak karuan. Dengan basmalah selembar
kertas dibukanya perlahan, ia meminta ayahnya untuk mendoakan. Selembar kertas
itu mengabarkan berita yang membuat nyalinya ciut. Hada tak lolos pada kedua
perguruan tinggi tersebut. Ia bersedih dan mengurung diri di kamar. Hada kecewa
pada Allah. Bukankah Allah akan mengabulkan doa-doa hambaNya? Tapi mengapa
Allah tak mengabulkan doanya? Ayah Hada hanya bisa menyabarkan anaknya, bahwa
Allah memiliki rencana terbaik yang tidak diketahui oleh hambahnya.
Sejak kejadian itu, Hada merasa
kecewa, tetapi ayahnya terus membuatnya tegar, karena masih ada ujian seleksi
tertulis beasiswa. Seminggu kemudian Hada mengikuti ujian tanpa terlalu
bersemangat, tetapi Ia berdoa semoga kali ini dia berhasil, dengan menuliskan maksimal
tiga perguruan tinggi yang dituju, Hada memilih UGM, UI dan Untan. Hada terus
berdoa semoga Allah mendengar doanya.
Hari-hari
terasa berjalan pelan ketika pengumuman dinanti. Hada terus berdoa dalam khusyuk
malam dan dalam nikmat dhuha. Pak Zuhri yang sebelumnya tidak setuju dengan
rencana Hada untuk merantau akhirnya luluh juga akan keinginan anaknya untuk
melanjutkan cita-cita yang begitu menggebu. Dalam setiap sujud terakhir Pak
Zuhri juga menyematkan nama anaknya. Semoga Hada menjadi seperti cita-citanya
dan mampu mengabdi untuk bangsanya menjadi dokter yang peduli dengan kesehatan
masyarakat kecil tanpa biaya yang tinggi. Hari pengumuman akhirnya tiba juga,
Hada belum berani membuka sendiri amplop kelulusan, dia masih trauma dari
amplop bulan lalu. Hada meminta Pak Zuhri membukanya. Dengan basmalah Pak Zuhri
membuka lipatan-lipatan kertas menjadi selembar kertas yang utuh. Jantung Hada
berdegup lebih kencang, begitu juga dengan ayahnya. Selembar kertas itu
mengabarkan bahwa Hada dapat melanjutkan ke perguruan tinggi UI dengan beasiswa
perkuliahan ditanggung dan biaya kebutuhan hidup dua puluh empat juta rupiah
pertahun hingga selesai studi. Subhanallah, Pak Zuhri lalu sujud syukur yang
kemudian diikuti oleh Hada. Mereka tiada henti mengucap hamdalah dan bersyukur
pada Allah, air mata haru tak lepas dari mereka berdua. Allah memang punya cara
lain untuk mengabulkan doa-doa hambanya. Walaupun sebenarnya Hada hanya iseng
memilih UI untuk mencukupi pilihan perguruan tinggi, dan dia tidak yakin untuk
dapat lolos di Jakarta karena saingan yang sangat banyak, tapi ternyata di
sanalah rezeki Hada dan Allah punya rencana yang lebih indah.
Saban
sore sebelum Hada berangkat ke Jakarta, rasanya langit Sambas semakin indah.
Kicau burung pipit dan riak teberau yang menyejukkan hati pasti akan
dirindukannya. Sore yang indah selain sore bersama ibunya, ia kembali melarung
mimpi dalam biru langit terigas, ia akan kembali membangun kota ini.
Keterangan:
Teberau1
(nama sungai yang mengalir di antara dua dusun yang terpisah di Desa
Lubuk Dagang, Sambas)
Jembatan
nibung2 (nama jembatan yang dibangun dari kayu nibung, menghubungkan
dua dusun yang terpisah oleh sungai Teberau)
Nong3 (panggilan kesayangan untuk anak)
Gek
marek4 (zaman dahulu)
Belian5
(nama jenis kayu yang sangat kuat dan harganya cukup mahal)
Jamban6
(susunan papan yang terapung di atas air yang digunakan untuk orang
mencuci dan mandi saat masih tidak ada wc)
Ngah,
Angah7 (panggilan untuk anak kedua)
Lomba
sampan bedar8 (Lomba sampan yang di adakan di muare ulakan, sekitar
lingkungan keraton, lomba sampan ini dilakukan secara berkeompok yaitu
berjumlah delapan orang dengan sampan yang panjang)
Muare
ulakan9 (pertemuan dari tiga buah sungai dari lain arah, yaitu
sungai Teberau, sungai Sambas besar, dan sungai Sambas kecil)
Sengayohan10
(bermain mengayuh sampan)
Bangkong11
(perahu besar yang sudah menggunakan mesin)
Seteher12
(tempat persinggahan perahu untuk ke daratan)
Bumi
terigas13 (julukan untuk kota Sambas, akronim dari visi misi kota
Sambas)
Menajur14
(sejenis memancing)
Lanting15
(rumah terapung di atas air)
qiyamul
lail16 (bahasa Arab: sholat malam/tahajud)
Biodata
Penulis
Nama saya Siwi Annisa, lahir di
Sambas pada tanggal 31 Agustus 1995. Saya menganut agama Islam. Saya sekarang
tinggal di kota Pontianak, tepatnya di Jalan Parit H. Husin 2 no. 33 Pontianak
Tenggara. Saya memiliki hobi membaca novel, buku motivasi, buku agama dan
Alquran. Cita-cita saya ingin menjadi seorang penulis. Sekarang saya sedang
menempuh pendidikan di perguruan tinggi Universitas Tanjungpura program studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, karena di Kalimantan Barat tidak ada
fakultas sastra, akhirnya saya menjatuhkan pilihan hati ke Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Saya memiliki cita-cita yang selalu membuat hidup saya
bersemangat adalah saya ingin menulis novel, memiliki perpustakaan sendiri dan
toko buku di kota kelahiran saya, yaitu Sambas. Toko buku terlengkap, termurah,
dan terbesar di Kalimantan Barat.
Comments
Post a Comment