SEJARAH SASTRA
Kelas :
IIB
1. Jelaskan latar belakang lahirnya Angkatan
45, Angkatan 50, Angkatan 60, Angkatan 70, dan 2000. Kemukakan juga kekhasan
setiap angkatan tersebut!
a. Karya Sastra Angkatan 45
Karya Sastra Angkatan 45
tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial dan politik pada zaman itu, yaitu perubahan
dari zaman pendudukan Jepang hingga peristiwa kemerdekaan Indonesia. Perubahan
politik yang terjadi secara mendadak membuat perubahan besar pada corak karya
sastra yang dihasilkan. Tidak seperti angkatan Balai Pustaka yang bercorak
kesusastraan kolonial Belanda, Angkatan Pujangga Baru yang berkiblat ke sastra
barat, maupun menghamba kepada Jepang, Angkatan 45 mencari jati diri sastra
Indonesia. Oleh karena itu Angkatan 45 memberikan corak tersendiri terhadap
karya sastra yang dihasilkan pada angkatan ini, yang ditandai dengan Surat
Kepercayaan Gelanggang dan nama Angkatan 45 muncul pertama kali oleh Rosihan
Anwar pada lembar kebudayaan Gelanggang. Isi Surat Kepercayaan Gelanggang
adalah
“Kami adalah ahli waris
yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara
kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat
dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo
matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke
depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujuda dan pernyataan
hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan
ndonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat
dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru
yang sehat.. Kebudayaan Indonesia
ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh
suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang
segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan
ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas
nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa
revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Dalam penemuan kami, kami
mungkin tidak selalu asli; yang
pokok
ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami
membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat)
adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman.”
Berdasarkan
Surat Kepercayaan Gelanggang, konsep karya sastra angkatan 45 adalah untuk
membebaskan diri dari pengaruh pihak lain. Sastrawan Angkatan 45 ingin berkarya
sesuai hati nurani dan mencita-citakan kemerdekaan. Konsep seperti itu dalam
situasi politik yang masa itu dikatakan sangat berani, dan dikenal dengan karya
sastra generasi terbaru.
Ciri khas
atau kekhasan dari karya sastra Angkatan 45 adalah
1)
karya sastra
Angkatan 45 lebih terbuka,
2)
isi karya
sastra bercorak realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis,
3)
sastrawan
angkatan 45 lebih individualisme, dinamis dan berpikir kritis,
4)
adanya
penghematan kata dalam karya, lebih ekspresif dan cenderung spontan,
5)
gaya bahasa
yang digunakan dalam karya sastra sinisme dan sarkasme,
6) karya sastra pada Angkatan 45 didominasi oleh puisi.
b. Karya Sastra Angkatan 50
Awal tahun 1950-an banyak
sastrawan yang kehilangan arah, karena meninggalnya Chairil Anwar pelopor
Angkatan 45 yang menyebabkan banyak kalangan sastrawan pasif dalam berkarya,
seperti Asrul Sani dan Rivai Apin yang sebenarnya diharapkan mejadi pelopor
lanjutan Angkatan 45. Kemudian pada masa itu pula, situasi nasional memburuk,
sekutu mengambil alih Indonesia terhadap Jepang, dan banyak terjadi
pemberontakan di Indonesia karena sistem pemerintahan yang liberal. Selain
masalah sosial sastra juga mengalami krisis pada masa itu. H.B Jassin diragukan
kualitas penilaiannya terhadap karya sastra ketika menjadi juri, yang ditandai
dengan banyaknya penolakan hadiah dari penerima hadiah, seperti Motinggo Boesje
dan Virga Belan. Menurut Boesje saat penyerahan hadiah Jassin seperti orang
mengantuk, dan penolakan itu bertujuan agar H.B Jassin bangun dari kantuknya
agar sadar bahwa sastra Indonesia, sastrawan Indonesia, dan sarjana kaum
intelektual sastra bangun dari kantuknya untuk melihat kenyataan sastra
Indonesia pada saat itu. Angkatan 50 di cetuskan oleh Rendra dan kawan-kawan
dari Yogyakarta, pada akhir 1953, namun nama Angkatan 50 tidak populer.
Kemudian Ajip Rosidi membangkitkan kembali nama Angkatan 50.
Ciri khas karya sastra
Angkatan 50 adalah sastrawan Angkatan 50 cenderung menengok ke akar tradisi di
daerahnya masing-masing. Kecenderungan itu berdampak cukup besar pada karya
sastra yang dihasilkan.
c. Karya Sastra Angkatan 60
Pada angkatan ini terjadi
peristiwa penting yaitu Manifes Kebudayaan. Manifes kebudayaan berisi tentang
kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kodrat hidup manusia, para
seniman dan cendekiawan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan.
Sedangkan, pada masa itu sistem pemerintahan RIS, dan mulai berkembangnya paham
komunis. Angkatan 60 atau yang lebih dikenal dengan Angkatan 66 lahir dari
peristiwa penting yaitu adanya gerakan 30 September/PKI, pada masa ini para
pemimpin ingin menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, menentang komunis dan kediktatoran. Orde Baru yang dibawa oleh Soeharto
menumbangkan Orde Lama dan mengikis habis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat,
bentukan PKI) dan PKI, menjadi latar belakang Angkata 60 yang ingin kembali
Pancasila sebagai falsafah kebudayaan bangsa.
Ciri khas karya sastra
Angkatan 60 adalah tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan dari
situasi budaya yang belum mapan seperti adanya norma politik dan norma ekonomi.
Karya sastra yang dihasilkan berisikan protes, dan curahan hati khas anak-anak
muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. Selain
bercirikan politik, suasana keagamaan juga terasa pada karya sastra angkatan
ini, karena pengarang Indonesia membedakan diri dari pengarang yang bergabung
dengan Lekra.
d. Karya Sastra Angkatan 70
Latar belakang lahirnya
angkatan ini adalah adanya pergeseran sikap berpikir, dan bertindak dalam karya
sastra bercorak baru. Selain itu Indonesia pada awal 1970-an kebudayaan baru
masuk dan awal mula pemerintahan Orde baru. Pada masa ini sudah tampak
ketimpangan sosial antara kaya dan miskin.
Ciri khas karya sastra
Angkatan 70 adalah munculnya protes teradap kepincangan-kepincangan masyarakat
pada awal industrialisasi, pengarang sangat bebas bereksperimen dalam
penggunaan bahasa dan bentuk, sehingga perbedaan dari karya sastra prosa dan
puisi tidak jelas.
e. Karya Sastra Angkatan 2000
Angkata 2000 lahir
terjadi karena berubahnya sistem pemerintahan dari zaman Orde Baru ke zaman
Reformasi. Pada zaman Orde Baru para sastrawan dkekang kebebasannya dalam
berkarya, sehingga pada era Reformasi, para sastrawan seolah-olah merasa
dibebaskan, diberikan keleluasaan, dan diberikan pentas kesusastraan terbuka
dan luas.
Ciri khas karya sastra
Angkatan 2000 adalah bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung
bahasa sehari-hari, bebas dari aturan karya sastra, penggunaan estetika baru
berupa penggantian tokoh aku dengan benda-benda, karya yang dihasilkan
religisus, dan kritik sosial juga muncul lebih keras.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan
a. Aliran Rawamangun
Aliran Rawamangun adalah
suatu aliran dalam kritik akademis sastra Indonesia yang keilmiahannya tampak
dalam sistematika dan penggunaan metode yang ilmiah. Aliran Rawamangun
berlandaskan prinsip objektivitas yang dikemukakan oleh Hutagalung
dalam esainya ‘Kritik Sastra Aliran Rawamangun’ pada tahun 1975, prinsip
pertama aliran Rawamangun, pusat perhatian peneliti sastra adalah karya
sastranya sendiri. Selain Hutagalung, Saleh Saad juga menyatakan bahwa peneliti
harus bertolak dari eksistensi karya sastra itu sendiri dan Nasution yang
menyatakan bahwa mengkaji sastra seperti membagi periode kesusastraan,
hendaklah didasarkan pada karya sastra, tidak didasarkan kepada soal-soal di
luar sastra seperti soal-soal masyarakat dan politik. Selain teori kritik objektif,
metode kritik Rawamangun juga menggunakan teori kritik ekspresif dan mimetik,
bahkan juga teori kritik pragmatik. Penggunaan teori yang terlihat
bercampur-campur itu yang menunjukkan mereka belum sadar akan ketaatasasan
penelitian secara ilmiah. Contohnya J.U. Nasution mengkritik sajak-sajak Sitor
Situmorang dan membicarakan juga sajak penyair lain. Cara menganalisis sajak
seperti itu berarti juga menganalisis manusia yang melahirkan karya tersebut.
Nasution belum mempergunakan teori secara taat asas karena Nasution menggunakan
teori kritik sastra ekspresif yang menghubungkan karya sastra dengan
pengarangnya. Sebenarnya aliran Rawamangun ini berasal
dari kalangan akademisi, misalnya sarjana sastra, ahli sastra, atau para calon
sarjana sastra, tepatnya para sarjana
Universitas Indonesia yang lokasinya berada di daerah Rawamangun.
Sehingga pemikiran kritik sastra oleh para sarjana menunjukkan persamaan, baik
praktik, maupun teorinya.
b. Pengadilan Sastra
Pengadilan Sastra, yaitu
Pengadilan Puisi yang terjadi di Indonesia karena terlalu menjamurnya puisi
lirik yang diterbitkan oleh majalah Horison, yaitu puisi yang dikembangkan oleh
Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Sehingga diadakan pengadilan puisi
di Bandung pada tahun 1974, Slamet Sukirnanto mengecam majalah Horison agar
surat izin terbitnya dicabut, karena menurut Slamet Sukirnanto kehidupan puisi
Indonesia sedang tidak sehat, karena banyak kritikus yang tidak lagi cemerlang
dalam mengapresiasi sastra yang dibawa oleh sastrawan baru, serta banyak
majalah maupun media massa menolak puisi Sutardji yang melawan kata. Oleh
karena itu Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono dituntut untuk pensiun
menulis, karena puisinya tidak berkembang.
c. Surat Kepercayaan Gelanggang
Surat Kepercayaan
Gelanggang adalah suatu bentuk kritik keras dan pemisahan diri terhadap
generasi sastra sebelumnya, yaitu berbeda dengan visi budaya yang ditegakkan
oleh St. Takdir Alisjahbana. Surat Kepercayaan Gelanggang mengklaim diri
sebagai ahli waris kebudayaan dunia, dan dengan penuh sesal diandaikan sebagai
budaya yang telah membawa Indonesia menjadi bangsa terjajah. Sehingga orientasi
Angkatan 45 adalah nasionalisme, satu-satunya kebudayaan Indonesia yang diakui
hanya bahasa Indonesia. Berdasarkan
Surat Kepercayaan Gelanggang, konsep karya sastra angkatan 45 adalah untuk
membebaskan diri dari pengaruh pihak lain, ingin berkarya sesuai hati nurani
dan mencita-citakan kemerdekaan. Isi
surat Kepercayaan Gelanggang adalah sebagai berikut.
“Kami adalah ahli waris
yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara
kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat
dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo
matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke
depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujuda dan pernyataan
hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan
ndonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat
dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru
yang sehat.. Kebudayaan Indonesia
ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh
suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang
segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan
ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas
nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa
revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Dalam penemuan kami, kami
mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami
mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami
terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang
mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.”
d. Kredo Puisi Sutardji
Kredo Puisi
merupakan sikap dan konsep Sutardji Calzoum Bachri dalam penulisan
puisi-puisinya. Kredo ini dimuat pertama kali dalam majalah Horison, Desember
1974, lengkapnya berbunyi:
Kredo Puisi
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia
bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu
sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan
alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri
dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam
keseharian, kata cenderung dipergunakan untuk menyampaikan pengertian. Dianggap
sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang
merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide.
Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi saya, saya
bebaskan kata-kata dan tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti kamus dan
penjajahan-.penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada
kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena
kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri.
Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap
berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang
terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang
kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam
gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan
menari-nari di atas kertas: mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri,
mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama
atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan
yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri
dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri dirinya dengan bebas, saling
bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya
atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak
dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga, sepanjang tidak mengganggu
kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya
sendiri bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti
mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama
adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada
mantra.
30 Maret 1973
Itulah
Kredo Puisi Sutardji, yang pada akhirnya ia menyatakan “Kredo saya jangan
ditanggapi bahwa saya menerapkan secara mutlak”.
e. Manifes Kebudayaan
Manifes Kebudayaan adalah
ungkapan para seniman dan cendikiawan terhadap perjuangan untuk menyempurnakan
kodrat hidup manusia, para seniman dan cendekiawan mempertahankan Pancasila
sebagai falsafah kebudayaan. Manifes kebudayaan juga berisi tentang penolakan
politik sebagai panglima yang dicanangkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat
bentukan PKI, pada saat itu.
Naskah
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan
cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang
menyatakan pendirian, cita-cita Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan
adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak
mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain.
Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan
kodratnya.
Dalam melaksanakan
kebudayaan nasional kamiberusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tenga-tengah
masyarakatbangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah
kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
3. Kemukakan dan jelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan menjamurnya penulisan puisi dan cerpen dewasa ini!
Menjamurnya
penulisan puisi dan cerpen pada saat ini terjadi karena proses membuat cerpen
maupun puisi lebih singkat daripada membuat tulisan seperti novel. Karya-karya
sastra seperti cerpen ataupun novel lebih mudah dinikmati dan membutuhkan waktu
yang lebih singkat, baik untuk membuat maupun untuk dinikmati atau diapresiasi.
Selain itu puisi dan cerpen banyak diminati para remaja sekarang daripada karya
sastra seperti pantun maupun syair, sehingga pauisi maupun cerpen berkembang
dengan mudah. Tema-tema cerpen maupun puisi biasanya adalah berupa curahan hati
yang kebanyakan sama pada setiap orang, sehingga memiliki pengertian yang tidak
jauh berbeda dari setiap individu. Tema yang diangkat tidak terlalu sulit untuk
dibandingkan dengan kehidupan zaman sekarang, serta bahasa yang digunakan dalam puisi dan cerpen
lebih mudah dimengerti.
DAFTAR
BACAAN
Sarumpaet, Riris K. 2005. Susastra Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia.
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Iskandarwassid, dkk. 1997. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Mohamad, Goenawan. 1988. Peristiwa Manikebu Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960-an.
Jakarta: Tempo.
Kurniawan,
M. Ardian. 2009. Latar Belakang Karya
Sastra Angkatan 45. (Online). (http://manusiabatu.wordpress.com/2009/03/03/sastra-angkatan-%E2%80%9945-1942%E2%80%941966/,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Sastra, Pelangi. 2010. Karya Sastra Angkatan 50. (Online). (http://pelangsastra.blogspot.com/2010/07/angkatan-50.html,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Alhadi, Saif. 2011. Sastra Angkatan 60. (Online). (http://berbahasa-bersastra.blogspot.com/2011/03/sastra-60-sejarah-sastra-periode-1960.html,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Puja, 2010. Sastra
Angkatan 70. (Online). (http://sastra-indonesia.com/2010/09/angkatan-70-an-kembali-ke-tradisi/,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Sastra, Indonesia. 2011. Karya Sastra Angkatan Reformasi (Online). (http://indonesia-sastraku.blogspot.com/2012/02/angkatan-reformasi.html,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Draditaswari, Silka. 2011. Aliran Rawamangun.
(Online). (http://draditaswari.blogspot.com/2011/10/metode-kritik-sastra-aliran-rawamangun.html,
dikunjungi 3 Juli 2014).
Comments
Post a Comment