Analisis Struktural Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono
PEMBAHASAN
Hujan Bulan Juni
tak
ada yang lebih tabah
dari
hujan bulan Juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada
pohon berbunga itu
tak
ada yang lebih bijak
dari
hujan bulan Juni
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
yang
ragu-ragu di jalan itu
tak
ada yang lebih arif
dari
hujan bulan Juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap
akar pohon bunga itu
(1989)
Analisis Puisi
1.
Bunyi
Bunyi
dalam puisi bersifat estetik, yaitu untuk mendapatkan keindahan dan tenaga
ekspresif. Selain itu juga untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa,
menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan
sebagainya. Di dalam puisi juga, bunyi digunakan sebagai orkestrasi untuk
menimbulkan bunyi musik. Dari bunyi musik inilah dapat mengalir perasaan,
imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya
(pembacanya).
Kombinasi
bunyi yang merdu biasanya disebut efoni, yang menggambarkan perasaan mesra,
kasih, sayang, atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan (Pradopo, 2012:
27-28). Sebaliknya kombinasi yang tidak merdu, parau, dan penuh k, t, p, s, ini
disebut kakafoni. Kakafoni ini cocok
untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, tak
teratur, dan memuakkan.
2.
Irama
Irama
dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan
bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian
berturut-turut secara teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah
tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang
sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun
itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian
bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata
yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
3.
Kata
Satuan
arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata. Dalil seni sastra J. Elma menyatakan bahwa puisi
mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat
dijilmakannya ke dalam kata (Slametmuljana, 1956:25). Untuk mencapai ini
pengarang mempergunakan berbagai cara. Terutama alat terpentingnya adalah kata.
a.
Kosa
kata
Alat untuk menyampaikan
perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergntung pada
kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemungkinan di
luar kata tak dapat dipergunakan (Slametmuljana, 1956: 7), misalnya mimik,
gerak, dan sebagainya. Kehalusan perasaan sastrawan dalam mempergunakan
kata-kata sangat diperlukan. Juga perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun
harus dikuasai pemakainya. Sebab itu pengetahuan tentang lesikografi sastrawan
syarat mutlak. Puisi akan mempunyai nilai abadi bila dalamnya sastrawan
berhasil mempergunakan kata-kata sehari-hari yang umum. Seringkali ada
sastrawan yang mempergunakan kata-kata
daerah tidak tepat artinya (karena bukan kata daerahnya sendiri) atau hanya
untuk “gagah-gagahan”, maka hal ini dapat mempergelap arti atau mengurangi
kepuitisannya. Begitu juga halnya, penggunaan kata-kata asing harus dapat
menimbulkan efek puitis. Dasar bahasa yang dipergunakan sastrwan adalah bahasa
umum.
b.
Pemilihan
kata
Penyair hendak
mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang
dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi
yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih
kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Barfield
mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara-cara yang
sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu
disebut diksi puitis (1952: 41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan,
untuk mendapatkan nilai estetik.
c.
Denotasi
dan konotasi
Termasuk pembicaraan
diksi ialah tentang denotasi dan konotasi. Dalam memilih kata-kata supaya tepat
dan menimbulkan gambaran yan jelas dan padat itu penyair mesti mengerti
denotasi dan konotasi sebuah kata. Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti,
yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti
tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian
yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutkan, atau
diceritakan (Altenbernd, 1970:9). Bahasa yang denotatif adalah bahasa yang
menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) denan (hal)
yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal saja.
Yang seperti ini ialah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca sajak orang harus
mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk
oleh tiap-tiap kata yang dipergunakan. Namun dalam puisi (karya sastra pada
umumnya), sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bukan
hanya arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan
oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Kumpulan asosiasi-asosiasi
perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang
dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap
dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang
telanjang dengan perasaan atau akal, begitu dikemukakan oleh Altenbernd
(1970:10).
d.
Bahasa
kiasan
Unsur kepuitisan ialah bahasa kiasan
(figurative lauguage ). Adanya
bahasa kiasan ini membuat sajak menjadi menarik, menimbulkan kesegaran, hidup,
dan terutama menimbulkan kejelasan gambar angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan
atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambar menjadi jelas,
lebih menarik , dan hidup.
Bahasa
kiasan ada bermacam-macam , akan tetapi meski bermacam-macam mempunyai suatu
hal ( sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mempertalikan
sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain ( Altenbernd,
1970:15).
Jenis – jenis bahasa kiasan tersebut
adalah :
1)
Perbandingan
Perbandingan
atau perumpamaan atau simile, ialah
bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mengunakan
kata-kata perbandingan seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal,
seumpama, laksana, sepantun, petaka, se, dan kata-kata perbandingan yang lain. Perumpamaan atau perbandingan ini
dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak
dipergunakan dalam sajak.
2)
Metafora
Metafora
ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
perbandingan, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora ini
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978:317). Metafora
ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau berharga dengan hal lain,
yang sesungguhnya tidak sama ( Altenbernd, 1970:15).
3)
Perumpamaan
epos
Perumpamaan
atau perbandingan epos (epic simile)
ialah perbandingan yang dilanjutkan, untuk diperpanjang, yaitu dibentuk dengan
cara melanjutkan sifat-sifat perbandingan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat
atau frase-frase yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat
panjang. Perbandingan epos ini ada bermacam-macam variasi juga.
4)
Allegori
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian
lain. Allegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Punjaga Baru.
5)
Personifikasi
Kiasan
ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati yang dibuat, berpikir,
dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan para
penyair dari dahulu hingga sekarang. Personifikasi ini membuat hidup lukisan,
disamping itu memberi kejelasan dan memberikan bayangan angan yang kongkret.
6)
Metonimia
Metomia
ini dring dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa
ini berupa atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat
berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd, 1970:21).
7)
Sinekdoki
Sinekdoki
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda
(hal) untuk benda atau hal itu sendiri. (Altenbernd, 1970:22). Sinekdoki ini
ada dua macam :
a)
Pars
pro toto: sebagian untuk keseluruhan.
b)
Totum
pro parte: kesuluran untuk sebagian
e.
Citraan
Citraan
ialah gambaran-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya
(Altenbernd, 1970:12), sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji
(image). Gambaran pikiran ini adalah
sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan
oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf
penglihatan dan daerah-daerah otak yang berhubungan (yang bersangkutan).
1)
Citra
penglihatan
Citraan
penglihatan memberi rangsangan kepada indraan penglihatan, hinga sering hal-hal
yang tak terlihat. Rangsangan yang
distimulus oleh citraan penglihatan kepada indra penglihatan akan menjadikan
bayangan imajinasi yang tak terlihat menjadi nyata.
2)
Citra
pendengaran
Citraan
pendengaran (auditory imagery),
berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran.
Citraan ini dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara,
misalnya dengan munculnya diksi tembang, dendang, mengiang, berdentum.
3)
Citra
perabaan
Citraan
perabaan adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indraan yang dapat dirasakan
oleh indra peraba (kulit). Pada saat kita membaca puisi dapat menemukan diksi
yang membawa pembaca seolah-olah merasakan apa yang disyairkan.
4)
Citra
penciuman
Citraan penciuman (alvaktory) adalah citraan yang dapat
dirasakan oleh indra penciuman ( hidung). Dengan membaca kata-kata tertentu
dalam puisi, seperti mencium bau sesuatu.
5)
Citra
pencecapan
Citraan
pencecapan atau pencicipan (gustatory) adalah citraan yang muncul dari puisi
sehingga pembaca seakan-akan mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa pahit,
manis, asem, pedas, dan sebagainya.
6)
Citraan
gerak
Citraan
gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery ). Imagery ini
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak ini
membuat hidup dan gambaran jadi dinamis.
f.
Gaya
bahasa dan sarana retorika
Cara
menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya
bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang
timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu
dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada
kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan
tanggapan pikiran kepada pembaca. Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa
sendiri. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam
melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang
biasa dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa disebut sarana retorika (rhetorical devices). Sarana retorika
merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd, 1970:22).
Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga
pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana
retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek
apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya.
1)
Tautologi
Tautologi ialah sarana
retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata
atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang
dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir
sama.
2)
Pleonasme
Pleonasme (keterangan
berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi
kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara
demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau
pendengar.
3)
Retorik
retisense
Sarana ini
mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak
terungkapkan. Penyair romantik banyak yang mempergunakan sarana retorika ini,
lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya.
4)
Paralelisme
Paralelisme
(persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa.
Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang
mendahului (Slametmuljana, Tt:29).
5)
Enumerasi
Enumerasi ialah sarana
retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian
dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau
pendengar (Slametmuljana, Tt: 25).
g.
Faktor
ketatabahasaan
1)
Pemendekan
kata
Pemendekan kata dalam
sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk
mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Pemendekan kata pada umumnya mengenai
kata-kata yang lazim dipendekkan seperti: ‘kan dari akan. ‘ku dari aku.
2)
Penghilangan
imbuhan
Selain pemendekan kata,
untuk melancarkan ucapan, untuk membuat berirama, Chairil Anwar sering
menghilangkan imbuhan lebih-lebih awalan seperti ‘ngomong’, ‘nggonggong’,
‘bicara’. Penghilangan imbuhan disamping untuk mendapatkan irama, juga
dipergunakan untuk mendapatkan tenaga ekspresivitas dengan hanya mengucapkan
yang inti saja.
3)
Penyimpangan
struktur sintaksis
Untuk mendapatkan irama
yang liris, kepadatan, dan ekspresivitas para penyair yang sering membuat
penyimpangan-penyimpangan dari struktur sintaksis yang normatif. Begitu juga
Chairil Anwar, bahkan ia pelopor dalam hal ini. Selain itu, penyimpangan dari
struktur sintaksis normatif ini sering membuat bahasa segar dan menarik karena
keharuannya. Penyimpangan struktur sintaksis yang dilakukan oleh Chairil Anwar
itu dapat berupa susunan kelompok kata ataupun susunan kalimata seluruhnya.
4)
Penghapusan
tanda baca
Dalam sajak-sajak
Sutardji kelihatan bahwa tanda baca hanya dipergunakan bila sangat perlu. Di
samping itu, banyak penghapusan tanda baca yang dilakukan dengan sengaja, yang
efeknya memberikan kegandaan tafsir ataupun efek stream of consciousness arus
pikiran yang mengalir tak terkendalikan dari bawah sadar. Sebuah kalimat yang
sangat panjang, yang terdiri dari ulangan-ulangan, berderet-deret tanpa koma,
baru pada akhir kalimat yang sangat panjang itu ditutup dengan tanda seru atau
tanda tanya.
5)
Penggabungan
dua kata atau lebih
Penggabungan dua kata
atau lebih maksudnya adalah penggbungan dua kata atau lebih menjadi satu
gabungan hingga seolah-olah sudah menjadi satu kata, menjadi satu pengertian
tak terpisah.
6)
Pemutusan
kata
Dalam peristiwa ini
kata-kata diputus-putus menjadi suku kata atau dibalik suku katanya, dengan
cara yang demikian itu, menjadi menarik perhatian dan artinya berubah, ataupun
hilang artinya, yang memberi sugesti kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna
lagi.
7)
Pembentukan
jenis kata
Pembentukan jenis kata
adalah membentuk kata-kata benda atau kata kerja langsung menjadi kata keadaan
atau kata sifat dengan mengawalinya kata yang
atau yang paling, dan tanpa mengubah
bentuk morfologinya.
Analisis
Puisi “Hujan Bulan Juni” Karya Sapardi Djoko Damono
1.
Bunyi
Dalam puisi Hujan Bulan
Juni, kombinasi vokal a, i, u, e, o, dan kombinasi konsonan bersuara b, d, g, j,
bunyi liquida l, r, dan bunyi sengau n, ng, ny, menimbulkan bunyi yang berirama
dan merdu (efoni). Bunyi-bunyi yang merdu tersebut mendukung suasana yang
mesra, kasih, sayang, dan menunjukkan perasaan rindu yang tertahan kepada
seseorang yang dirindukannya.
2.
Irama
Hujan
Bulan Juni
v v - v
tak
ada yang lebih tabah
v - v -
dari
hujan bulan Juni
v - v - -
dirahasiakannya
rintik rindunya
v - - v -
kepada
pohon berbunga itu//
v v - v
tak
ada yang lebih bijak
v - v -
dari
hujan bulan Juni
v - v - -
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
v - - v -
yang
ragu-ragu di jalan itu//
v v - v
tak
ada yang lebih arif
v - v -
dari
hujan bulan Juni
v - v - -
dibiarkannya
yang tak terucapkan
v - - v -
diserap
akar pohon bunga itu//
3.
Kata
a.
Kosakata
Penyair menggunakan
bahasa sehari-hari atau bahasa umum yang biasa di dengar, yaitu kata hujan,
bulan, tabah, pohon, bunga, bijak, arif, dan lain-lain. Penggunaan kosakata itu
memudahkan pembaca untuk memahami maksud puisi dari kosakata umum tersebut.
b.
Pemilihan
kata
Penyair menggunakan
pilihan kata atau diksi yaitu hujan bulan Juni. Penggunaan kata ini sebenarnya
sangat bertentangan dengan keadaan, karena saat puisi ini ditulis oleh
penyairnya pada tahun 1989 ketika pada bulan Juni masih termasuk musim kemarau,
tetapi pada kata hujan bulan Juni inilah keunikan puisi terlihat. Hujan yang
biasanya terjadi pada bulan Oktober-Maret, pada puisi ini terjadi pada bulan
Juni. Sebenarnya hujan bulan Juni adalah hujan yang ingin turun pada bulan
Juni, tetapi pada bulan Juni belum menjadi waktu yang tepat untuk hujan turun.
Sehingga hujan bulan Juni harus menahan dirinya, hingga bulan Oktober-Maret. Maksud
penjelasan tersebut puisi tersebut menceritakan tentang ketabahan seseorang
yang memendam perasaan rindunya kepada seseorang yang dirindukan dan menarik
hati (pohon berbunga itu) karena belum saatnya. Segala keinginan dan keraguan
untuk mengungkapkan perasaan harus ditahan
karena ia tahu semua itu belum waktunya. Tetapi pada akhirnya, walaupun tidak diungkapkan, orang yang dirindukan
(pohon berbunga) mengetahui perasaan orang tersebut dengan sendirinya karena
mereka sebenarnya sama-sama menantikan waktu yang tepat dan saling membutuhkan.
c.
Denotasi
dan konotasi
Denotasi adalah makna
kata yang sebenarnya: tabah, bijak, arif.
Konotasi adalah makna
kata yang bukan sebenarnya atau telah memiliki makna tambahan. Hujan bulan Juni
yang berarti seseorang yang memendam perasaan rindunya. Pohon berbunga itu
berarti seseorang yang menarik hati, indah, dan dirindukan. Dirahasiakannya rintik
rindu berarti air mata kerinduan yang dipendam oleh seseorang. Dihapusnya
jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu berarti perasaan ragu-ragu
untuk mengungkapkan rindu harus dihapuskan karena belum waktunya. Dibiarkannya
yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu, artinya perasaan rindu yang
tak terucapkan akhirnya diketahui dengan sendirinya.
d.
Bahasa
kiasan
Dalam puisi “Hujan
Bulan Juni”, bahasa kiasan yang terdapat yaitu personifikasi. Personifikasi
adalah mempersamakan benda-benda dengan manusia, pada puisi tersebut adalah
tak
ada yang lebih tabah
dirahasiakannya
rintik rindunya
tak
ada yang lebih bijak
dihapusnya
jejak kakinya
tak
ada yang lebih arif
dibiarkannya
yang tak terucapkan
karena yang memiliki
sifat tabah, bijak, dan arif hanyalah manusia, tidak mungkin hujan yang sesungguhnya
memiliki sifat tabah, bijak, dan arif. Selain itu yang merahasiakan, menghapus,
dan mengucapkan hanya dapat dilakukan oleh manusia, tidak mungkin dapat
dilakukan oleh hujan.
e.
Citraan
Citra
penglihatan:
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada
pohon berbunga itu
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
diserap
akar pohon bunga itu
citra
pendengaran:
dibiarkannya
yang tak terucapkan
citraan
gerak: -
citraan
pencecapan: -
citraan
perabaan: -
citra
penciuman: -
f.
Gaya
bahasa dan sarana retorika
Paralelisme:
tak
ada yang lebih tabah
tak
ada yang lebih bijak
tak
ada yang lebih arif
Tautologi:
-
Pleonasme:
-
Hiperbola:
-
Retorik
retisense: -
Enumerasi:
-
Paradoks:
-
g.
Faktor
ketatabahasaan
Pemendekan
kata:
Tak
ada yang lebih tabah
Tak
ada yang lebih bijak
Tak
ada yang lebih arif
Dibiarkannya yang tak
terucapkan
Penghapusan
tanda baca: penghilangan titik di akhir bait puisi.
Penghilangan
imbuhan: -
Penyimpangan
struktur sintaksis: -
Penggabungan
dua kata atau lebih: -
Pemutusan
kata: -
Pembentukan
jenis kata: -
DAFTAR
PUSTAKA
Pradopo, Rachmat
Djoko. 1987. Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damono,
Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni.
Jakarta: Grasindo.
terima kasih mohon ijin copas. semoga bermanfaat
ReplyDeletemakasih ilmunya....
ReplyDelete