Cinta Bersabarlah (untuk yang tersayang, kupanggil Kakak)


Aku telah mengintipnya dari kamar berkali-kali. Wajahnya yang serius dan mendadak grogi tidak dapat disembunyikannya walau seringkali hal itu ditepisnya dengan senyuman. Perbincangan di ruang tengah dan ruang tamu tampaknya memang sedang serius. Akan tetapi kadang-kadang terdengar guyonan yang disertai dengan gelak tawa santai dari luar. Aku hanya bisa mengintip dari tirai pintu kamarku. Di sebelah kanan ruang tengah dipenuhi ibu-ibu yang memakai kebaya, termasuk ibuku, keluarga, tetangga, dan beberapa wajah yang belum pernah kulihat. Di ruang tamu juga dipenuhi oleh bapak-bapak yang sedang berbalas pantun. Mataku akhirnya tertuju pada sepasang mata yang sedang memperhatikanku di balik tirai. Ia tersenyum kepadaku, aku pun dengan cepat menutup pintu dan tersipu malu. Para sepupu dan adik perempuan yang sedang asyik berfoto ria di kamarku tak menyadari tingkahku. Aku pun tersenyum sendiri. Karena masih merasa penasaran, akhirnya aku mengintip lagi, tapi mataku tidak lagi menerobos ruang tamu. Mataku memperhatikan ibuku yang berkerudung kuning sedang asyik berbincang dengan seorang ibu yang sering ku sms apabila aku sedang merasa kangen dan rindu pada seseorang. Iya, itu ibunya, ibunya berkerudung hijau, tampak sangat serasi apabila kerudung hijau itu dipasangkan dengan baju ibuku, dan kerudung kuning ibuku dipasangkan dengan baju ibunya. Menurutku, tampaknya memang tertukar.. Tiba-tiba ibuku dan ibunya melihat ke arahku dan tersenyum. Entah mengapa, hal itu tak kalah membuatku tersipu malu dari kejadian pertama tadi.
Malam minggu ini kurasa sangat ramai dan begitu spesial. Di luar rumah tampak para pemuda di kampungku sedang mengobrol dengan teman-temannya, dari jendela kamarku, rumah nenekku dipenuhi oleh keluarga jauh yang berdatangan  dan halamannya  juga dipenuhi kendaraan dan anak kecil yang sedang berkeliaran. Maklum saja jam dinding kamar baru menunjukkan pukul 20.05, dan acara lamaran baru akan dimulai.
Aku tak menyangka kejadian malam ini akan benar-benar terjadi. Aku hanya sering mengkhayal, lalu tersenyum sendiri. Malam ini keluarga besarnya datang dengan empat buah mobil. Setiap orang yang turun dari mobil naik ke rumah membawa kotak seperti bingkisan, itulah barang hantaran kata bibiku. Keluarganya memakai baju yang berwarna sama, hijau lumut, yang perempuan mengenakan kebaya dan bapak-bapak maupun anak kecil yang laki-laki menggunakan baju teluk belanga dengan warna yang seirama. Sambutan salam dan balas-membalas pantun yang meriah di halaman rumah membuatku mulai penasaran. Tapi aku hanya boleh keluar ketika nanti jika diperbolehkan. Ayahku menyambut keluarganya dari depan rumah menuju ruang tamu. Ibu-ibu dipersilakan duduk di ruang tengah, dan bapak-bapak di ruang tamu.
Acara pun dimulai dengan ucapan bismillah, dilanjutkan pernyataan keseriusan calon mempelai pria untuk melamar, dan ke acara inti, yaitu melingkarkan cincin kepada gadis idaman. Dari dalam kamar, aku sudah grogi setengah mati dan keringat dingin yang mengucur deras. Bibiku memanggil ibuku dan mengiringiku untuk keluar kamar menuju ruang tengah untuk duduk. Jantungku berdetak sangat cepat, ketika ibunya di hadapanku tersenyum dan meraih tangan kiriku untuk melingkarkan cincin di jari manisku, sebagai tanda bahwa aku sudah ada yang meminang. Dengan bismillah aku pun mengucap awal lamaran ini semoga dapat berlanjut pada jenjang pernikahan. Aku memejamkan mata, dan ibunya memasangkan cincin yang bertatahkan permata di jari manisku. Terasa haru pertama kalinya dilamar. Air mataku tak dapat ditahan, aku meraih tangan ibunya dan menciumnya sebagai tanda terima kasih telah memilih dan merestuiku sebagai calon istri anaknya. Ibunya tersenyum dan memelukku. Kami memang telah lama kenal, tetapi aku sering bertanya-tanya apakah memang akan terjadi hal seperti ini. Ini semua terasa mimpi. Indah, indah sekali. Aku pun tersenyum dan memeluk ibuku. Sepupuku dan sepupunya tak  berhenti mengambil foto sedari tadi dari angel yang berbeda-beda. Seseorang yang duduk dihadapan ayahku tersenyum memperhatikanku, tetapi aku berencana pura-pura tidak akan melihatnya. Aku pun diminta kembali lagi ke kamar oleh bibiku yang mengiringku. Ayahku dan bapaknya akan membicarakan penetapan hari pernikahan. Ku dengar dari kamar, ayahku meminta acara pernikahan di adakan bulan depan, pamanku juga tampaknya menyetujui, karena niat yang baik tidak boleh ditunda-tunda. Tetapi, tiba-tiba bapaknya mengatakan tidak setuju dengan pendapat ayahku karena dia “mempelai pria” tidak setuju pernikahan diadakan bulan depan. Dia pun mengatakan bahwa akad nikah akan dilaksanakan dua minggu lagi. Alangkah terkejutnya semua yang hadir, karena persiapan pernikahan belum ada yang dilakukan sedikitpun. Dia menjelaskan bahwa semuanya insya Allah telah siap, dan tidak perlu bermewah-mewah. Akhirnya setelah banyak pertimbangan dari berbagi pihak, disetujui bahwa akad nikah akan diadakan dua minggu lagi.
Setelah keputusan disampaikan, aku baru diizinkan keluar untuk bersalaman, dan dikenalkan dengan keluarga besar oleh ibunya. Aku pun hanya bersalam dengan orang-orang yang ada di ruang tengah. Terhitung hari itu, aku tidak boleh bertemu dengan dia sampai akad nikah dilaksanakan. Begitulah wejangan nenek yang kudengar dari tadi di kamar. Aku mengiyakan saja. Sirih pinang hantaran seperti bingkisan itu pun dibawa ke kamarku dan telah diganti dengan kue yang sudah dipersiapkan untuk membalas baki kata bibiku.
Aku merasa lega acara itu sungguh sempurna. Aku merasa menjadi wanita yang dilahirkan paling istimewa ketika aku telah dilamar. Bahagia, berbunga-bunga itulah suasana hatiku saat ini. Tak dapat kulukiskan dengan utuh, perasaanku terlalu besar untuk kutuliskan dengan puisi manapun. Cincin ini, cincin di jari manisku akan kujaga sampai bertemu di depan penghulu.                     


Comments

Popular Posts