ANGKATAN BALAI PUSTAKA


Tema-tema Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain memiliki ketentuan kepenulisan yang terbebas dari propaganda politik dan ajaran agama, kesusastraan angkatan balai bahasa juga mulai mengangkat tema-tema yang sebelumnya belum diterapkan dalam kesusastraan melayu.
Tema-tema yang biasa diangkat dalam karya-karya angkatan balai pustaka adalah:
1)      Adat kawin paksa,
2)      Otoriter orang tua dalam menentukan perjodohan anak-anak mereka,
3)      Konflik diantara kaum tua dan kaum muda,
4)      Penjajahan Eropa yang dianggap wajar dan terkesan dianggap baik.
Adat kawin paksa merupakan tema yang paling mendominasi karya-karya angkatan balai pustaka, seperti yang diceritakan dalam roman Siti Nurbaya.  Dalam karya tersebut dapat kita lihat bagaimana orang tua memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan pernikahan dari anak-anak mereka. Konflik antargenerasi terutama generasi tua dan muda merupakan tema berikutnya yang sering menjadi topik-topik perbincangan dalam karya sastra. Di antara karya-karya tersebut ada yang berakhir dengan tragis, atau diakhiri dengan kemenangan kaum tua, namun ada juga beberapa karya yang berani melawan arus kesusastraan pada masa itu dengan memberikan akhir kemenangan kaum muda dalam melawan kaum tua. Seperti yang terdapat dalam karya Darah Muda dan Mencari Anak Perawan. Penokohan dalam karya sastra angkatan balai pustaka juga dibuat jauh bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Tokoh-tokoh protagonis digambarkan sedemikian sempurna baik dalam bidang moral ataupun sosial, sedangkan tokoh-tokoh antagonisnya digambarkan sangat jahat dan tidak beradab. Karya-karya pada masa angkatan balai pustaka merupakan karya-karya yang merepresentasikan realitas sosial pada masa itu, namun tentunya karya-karya tersebut harus sejalan dengan politik pemerintahan kolonial.


D.    Mengapa Disebut Angkatan Balai Pustaka ?

Balai Pustaka disebut angkatan 20an atau populernya dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya. Menurut Sarwadi (1999: 25) nama Balai Pustaka menunjuk pada dua pengertian:
Ø  Sebagai nama penerbit 
Ø  Sebagai nama suatu angkatan dalam sastra Indonesia
Menurut Sarwadi (1999: 27) Balai Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu Balai Pustaka telah memberikan informasi tentang ajaran politik kolonial. Berdasarkan penyataan tersebut maka dengan didirikannya Balai Pustaka telah memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia karena sasrta Indonesia  menjadi berkembang.
Dilihat dari perkembangan sastranya, Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan pendiriannya, maka pasti menetapkan persyaratan-persyaratan didalam menyaring suatu karya sastra. Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka menimbulkan berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantanya meliputi: 
·         Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi pengarang ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
·         Novel Belenggu karya Armin Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak bersifat membangun dan tidak membantu budi pekerti. Kemudian noel itu disadur oleh Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh Balai Pustaka. 
Karakteristik Angkatan Balai Pustaka 
Yang menonjol pada masa lahirnya sastra angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita masyarakat dan sikap hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal itu tervermin oleh kesadaran masyarakat khususnya para penulis akan pentingnya persatuan demi terciptanya kesatuan bangsa yang diperlihatkan melalui karya sastra yang telah memperegunakl
n bahasa persatuan Indonesia akan tetapi dengan hal tersebut tidak memperlihatkan bahwa setiap masyarakat Indonesiatelah meninggalkan adat istiadanya namun d
ngan keaneka ragaman adapt istiadatnya menjadikan suatu alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
1)      Sebagian besar sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya). 
2)      Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berup
pertentanga paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
3)      Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah.
Peristiwa yang diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
5)      Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
6)      Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
7)      Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
8)      Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair
Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain mengambil latar belakang kehidupan masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya sastranya, masih terdapat beberapa ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di antara karya sastra lainnya, di antaranya adalah:
1.      Karya sastra angkatan balai pustaka pada umumnya hanya berceritakan mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
2.      Karya-karya pada angkatan balai pustaka juga tidak berbicara mengenai politik, kemiskinan, dan nilai-nilai sekularisasi.
Para penulisnya lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada masa itu, pengarang berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah kolonial agar karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.
Karya-karya yang ada pada angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak menyinggung perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari balai pustaka disortir secara ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang pemerintahan kolonial. Contoh paling dekatnya adalah karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih untuk menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis, sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak penerbit balai pustaka. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
2.      Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
3.      Karya yang akan diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.
Karena syarat dan ketentuan yang ketat dari pihak penerbit balai pustaka, maka tidak kita temukan karya-karya yang mengacu kepada kritikan terhadap perpolitikan kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya tersebut terlebih dahulu disaring agar bisa lulus penyeleksian karya-karya yang akan dipublikasi.

G.    Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)

Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:

1.     merekrut dewan redaksi secara selektif
2.     membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3.     menentukan kriteria literer
4.     mendominasi dunia kritik sastra

Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:


1.     Gaya Bahasa               : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.     Alur                             : Alur Lurus.
3.     Tokoh                          : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4.     Pusat Pengisahan        : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5.     Terdapat digresi          : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat                                                    menganggu kelancaran teks.
6.     Corak                          : Romantis sentimental.
7.     Sifat                            : Didaktis (pendidikan)
8.     Latar belakang sosial   : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9.     Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

Angkatan kesusastraan Indonesia balai pustaka, dimulai penghitungannya dari tahun 1920.  Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka. Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar pada masa itu. Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra lainnya dengan penggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya dan bahkan tidak jarang di antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.
Pada angkatan balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya lebih banyak berdarah Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai pustaka, karya-karya yang lahir pada masa angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan angkatan dua puluh. Titik awal angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka. Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa Melayu dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa Indonesia masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip dasar sastra Indonesia adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat nasionalisme Indonesia.
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

I.       Pengaruh Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada Beberapa Ragam Karya Sastra
Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu. Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
1)      Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.
2)      Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
3)      Karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.
Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan taman-taman perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:
(1). Sari Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1919)
(2). Panji Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1923)
(3). Kejawen (dalam Bahasa Jawa)
(4). Parahiangan (dalam Bahasa Sunda)
Ketiga majalah yang terakhir itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh.
Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra, diantaranya:

1.      Prosa

a)      R O M A N
Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Adapun isi ringkasan roman Azab dan Sengsara sebagai berikut:
Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah itu, tambah membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20. Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman. Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.


b)      Cerpen
Sebagian besar cerpen Angkatan 20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa dan masalah adat sudah tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan antara golongan tua dan golongan muda praktis golongan muda menang. Bahan cerita diambil dari kehidupan sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan. Cerita-cerita pendek itu mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya yang bersifat humor dan sering berupa kritik.
Kebanyakan dari cerita-cerita pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan menjadi kitab. Misalnya:
1.      Teman Duduk karya Muhammad kasim
2.      Kawan bergelut karya Suman H.S.
3.      Di Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka
4.      Taman Penghibur Hati karya Saadah Aim
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:
Ø  Menggambarkan pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.
Ø  Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.
Ø  Adanya kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.
Ø  Banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara kebakuannya.
Ø  Adanya analisis jiwa.
Ø  Adanya kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan kebangsawanan daerah.
Ø  Kontra antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.
Ø  Cerita bermain pada zamannya.
Ø  Pada umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau, sebab pengarang banyak berasal dari daerah sana.
Ø  Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.
Ø  Corak lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala sesuatu yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.

2.      Drama
Pada masa angkatan 20 mulai terdapat drama, seperti: Bebasari karya Rustam Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di samping itu, Bebasari merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda. Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan. Gadis Modern karya Adlim Afandi merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas dasar cinta. Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari Pararaton. Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore.
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata karya Moh. Yamin.

3.      Puisi
Sebagian besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra. Perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia. Pembaharuannya dapat dilihat dalam kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.
Perhatikan kutipan puisi di bawah ini:
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagi pula sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Dibandingkan dengan puisi lama, puisi tersebut sudah merupakan revolusi:
Ø  Dari segi isi, puisi itu merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia.
Ø  Dari segi bentuk, jumlah barisnya sudah tidak empat, seperti syair dan pantun, dan persajakkannya (rima) tidak sama.
Pengarang berikutnya pada masa angkatan 20 di bidang puisi adalah Rustam Effendi.Rustam Effendi dipandang sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin mengenalkan puisi baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai pembawa soneta di Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi pada tahun 1924 adalah Percikan Permenungan.

Perhatikan contoh kutipan sajaknya:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair,
Buka beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair,
Sarat-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.

Perubahan yang dibawa oleh Rustam Effendi melalui Percikan Permenungan (Bukan Beta Bijak Berperi) yaitu:
1)      Dilihat bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa syair. Ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern.
2)      Lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.

Penyair berikutnya adalah Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:
1.      Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)
2.      Puspa Mega (1927)
3.       Madah Kelana (1931)
Sajak yang pertama kali dibuat adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah sekolah Yong Sumatra.
Dengan demikian, ciri-ciri puisi pada periode angkatan 20, yaitu:
(1). Masih banyak berbentuk syair dan pantun.
(2). Puisi bersifat dikdaktis.



J.      Persajakan pada Angkatan Balai Pustaka
Perkembangan kesusastraan pada masa balai pustaka tidak hanya berkembang melalui karya-karya prosa dan pernovelan saja, tetapi juga di bidang persajakan. Rustam Efendi dan Muhammad Yamin merupakan orang-orang yang memegang pengaruh besar dalam perkembangan persajakan di Indonesia pada masa itu. Mereka bahkan disebut-sebut sebagai Bapak Soneta Indonesia, karena mereka berdualah yang menjadi pelopor penulisan soneta di Indonesia. Soneta yang berkembang pada masa itu, tidak lepas dari pengaruh kemelayuan, di mana sajak yang dihasilkan rata-rata menggunakan nada yang mendayu-dayu dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di sekitar kita, seperti tumbuh-tumbuhan. Meskipun demikian, sebagai sebuah karya, sajak-sajak tersebut tetap bertugas untuk mengungkapkan pengalaman batin yang tidak terlepas dari nilai-nilai humanitas dan religuitas.
Rustam Efendi merupakan salah satu tokoh kesusastraan Indonesia yang serin disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu puisi di Indonesia. Dia juga menggunakan penulisan drama bersajak, yang bahasanya lebih dipuisikan. Sebagai seorang sosialis kiri, Rustam Efendi juga menggunakan karya-karyanya sebagai penyampai hasrat-hasrat nasionalisme pada dirinya yang berbeda sekali dengan Muhammad Yamin yang lebih mengutamakan aspirasi kebangsaan. Penulis-penulis yang sempat mengecap kesuksesan pada masa angkatan balai bahasa meliputi Merari Siregar, Marah Rusli, Rustam Efendi, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Muhammad Kasim, Aman Datuk Madjoindo, Jamaluddin Adinegoro, Tulis Sutan Sati, dan Nur Sutan Iskandar. Penulis pada masa ini tidak hanya sebagai penghasil karya sastra saja, namun juga sebagai penerjemah karya-karya asing.

K.    Novel/roman yang diterbitkan pada Angkatan 20-an
Angkatan Balai Pustaka merupakan salah satu angkatan dalam Periodesasi Sastra kita. Angkatan ini disebut juga Angkatan 20-an. Disebut begitu karena rata-rata novelnya (romannya) diterbitkan sekitar tahun 1920-an oleh penerbit Balai Pustaka.
Berikut novel/roman yang diterbitkan pada Angkatan 20-an ini (silakan klik judul yang berwarna kuning untuk membaca sinopsisnya):
Ø  Azab Dan Sengsara (Karya Merari Siregar)-1920
            Tema: Kawin paksa, ketika perjodohan anak muda masih ditentukan oleh   orangtua mereka.Tokoh: Aminuddin, Mariamin, Baginda Diatas, Kasibun, Nuria,      Sutan Baringin.
Ø  Sabai Nan Aluih (Karya Tulis Sutan Sati)-1920
Ø  Sitti Nurbaya (Karya Marah Rusli)-1922
            Tema: Kasih tak sampai dan kawin paksa
            Tokoh: Sitti Nurbaya, Samsul Bahri, Datuk Meringgih
Ø  Mencari Pencuri Anak Perawan (Karya Suman Hasibuan)-1923
Ø  Salah Pilih (Karya Nur Sutan Iskandar)-1928
Ø  Salah Asuhan (Karya Abdul Muis)-1928
Tema: Kesalahan dalam mendidik dan mengasuh anak, kisah kasih antara dua anak manusia berbeda bangsa.
Tokoh: Hanafi, Corrie, Rapiah, Safei, Ibu Hanafi.
Ø  Sengsara Membawa Nikmat (Karya Tulis Sutan Sati)-1928
Ø  Neraka Dunia (Karya Nur Sutan Iskandar)-1934
Ø  Hulubalang Raja (Karya Nur Sutan Iskandar)-1934
Ø  Katak Hendak Menjadi Lembu (Karya Nur Sutan Iskandar)-1935
Ø  Nusa Penida (Karya Anjar Asmara)
Ø  Sukreni Gadis Bali (Karya I Gusti Nyoman Panji Tisna)-1936









Comments

Popular Posts