Perpusda Sambas Jadi Pajangan Kota?
Sekitar pukul
10.00, matahari mulai merangkak naik menuju puncak maha panas. Sudah dua puluh
menit aku berkeliling mencari Perpusda Sambas, yang katanya berada di dekat
Kantor Bupati Sambas. Dengan bekal informasi seadanya, aku berangkat
menggunakan sepeda motor. Di persimpangan depan pesantren Muhammad Basiuni
Imran, aku memilih jalur kiri yaitu jalan Suka Ramai. Kupacu sepeda motor
dengan kecepatan yang mampu membuat jilbabku berkibar sesukanya karena panas
mulai menyengat. Di depan kantor bupati kulihat sekeliling, mataku nanar
memperhatikan tiap nama gedung, tapi tak satu pun kutemukan Perpusda Sambas di
sana. Aku memutar arah kembali ke persimpangan dan memilih jalur kanan menuju
jalan ke Subah, tapi lagi-lagi tak kutemukan bangunan Perpusda Sambas di jalan
itu.
Dahulu, saat masih
bersekolah di pesantren aku selalu menyempatkan diri berkunjung di Perpusda
Sambas. Sebelum dipindahkan, letaknya memang strategis di samping Puskesmas
Sambas yang berada di dekat simpang tiga Desa Dalam Kaum. Aku bertanya kepada
seorang kakek yang sedang mengasuh cucunya di halaman rumahnya yang asri. Dia
menunjukkan jalan sebelah kiri, yaitu jalan pertama yang kupilih, tapi dia
mengingatkan untuk tidak terlalu laju menggunakan sepeda motor karena letaknya
tidak jauh dari persimpangan pesantren. Aku kembali ke jalan Suka Ramai. Benar,
akhirnya kutemukan juga istana buku di kota ini. Aku memaklumi ketidakjelianku
pada saat pertama melewati jalan Suka Ramai karena gedung ini di depannya
ditumbuhi rumput-rumput yang panjang sehinga mengejawantahkan pikiranku yang
menganggap bangunan ini adalah bangunan yang kosong. Beberapa huruf di nama
bangunan ini juga tidak terbaca serta warna catnya juga sudah kusam.
Aku memarkir
motorku di halaman dan membuka pintu. Suasana di dalam sepi sekali. Tak ada
seorang pun yang tertangkap oleh mataku, baik itu petugas operator maupun
pengunjung, hanya terdengar suara pegawai yang bercakap-cakap di ruang
belakang. Aku menyimpan tas di dalam loker dan mencari buku tentang kerajaan
Sambas dan budayanya. Dua puluh menit kuperhatikan judul-judul buku, tapi tak
satu pun yang cocok dengan keinginanku. Akhirnya aku duduk di kursi. Tidak lama
setelah itu, keluar seorang laki-laki dari ruang belakang menyapaku. Aku
langsung mengenalinya. Tetangga jauh, tapi masih dalam kawasan satu kampung.
Bang Iman, begitulah biasa aku memanggil namanya. Baru sebulan ia bekerja di
sini. Aku langsung menanyakan buku yang kucari dan dia pun menunjukkan rak
khusus yang terletak di dekat ruang operator.
“Tapi, buku dalam
rak ini tidak boleh dipinjam, hanya boleh di baca di sini,” jelas Bang Iman
yang sedang membuka rak buku. Aku pun mengangguk dan mencari judul-judul yang
sesuai dengan tugas kuliahku. Sambil mencari buku, aku pun berbasa-basi
menanyakan banyak pengunjung perpustakaan setiap harinya.
“Pengunjung paling
banyak itu hanya lima orang dalam satu hari, tapi juga sering tidak ada pengunjung. Kalau misalnya banyak
pengunjung secara serentak itu, ya pasti mahasiswa Poltesa atau STAIS yang
diberi tugas oleh dosennya. Kalau tidak ada pengunjung, ya sepi begini.”
Aku sangat
menyayangkan perpustakaan yang sepi pengunjung, berarti minat baca
masyarakatnya minim sekali. Bang Iman pun mengiyakan ucapanku.
“Perpusda Sambas
hanya jadi pelengkap, yang penting kabupaten ini ada perpustakaan saja cukup,
koleksinya juga itu-itu saja, tidak ada yang baru. Fasilitas di perpustakaan
juga tidak ada misalnya seperti hot spot, komputer, dan lain-lain. Ya jadinya
seperti itu, tidak ada yang tertarik ke perpustakaan. Perpustakaan hanya jadi
pajangan kota saja, bukan kebutuhan.” jelas Bang Iman.
Hatiku miris
mendengar penjelasan Bang Iman. Begitu merosotkah minat baca masyarakat
Kabupaten Sambas yang dulu katanya Kota Serambi Mekah, Negeri Para Alim Ulama,
Negeri Para Cendekiawan Muslim?
Comments
Post a Comment