Aku Melihat Ibuku Berbaju Dinas
Sudah satu jam dia bersama kami di ruang yang sama. Melibas dua SKS
setiap minggu dengan diktat-diktat kuliah. Sesekali ia berdiri berbicara
panjang lebar mengulas novel “Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya”
terbitan tahun kemarin. Tangan yang bersahaja memberi penekanan pada bahasa
nonverbalnya. Jemari jempol dan telunjuk, kiri kanan membentuk dua angka nol
dengan spasi lima jari, bak seorang dirijen ia menguasai kelas. Aku selalu
terkesima dengan penampilannya yang sederhana. Apalagi dengan pembawaan logat
Jogja totok yang tak pernah absen ketika dia bicara.
“Sekarang banyak ibu muda yang kejam terhadap darah dagingnya sendiri.
Kenakalan remaja, pergaulan bebas, kebablasan, e... akhirnya si perempuan
hamil, kemudian aborsi. Tidak punya rasa perikemanusiaan. Ya tho?”
Diam-diam aku tak hanya meng-copy
paste kalimatnya. Tapi juga meng-copy
paste wajah ibuku padanya. Aku melihat wajah ibuku pada parasnya. Kutemukan
ide gila itu ketika sering mengamati jemarinya yang sedang membuka dan
mengotak-atik kotak pinsil di atas meja, sekitar satu meter dari tempat
dudukku.
Ya, jemarinya mirip jemari ibuku. Jemari yang kukenal dengan tipe kuku
yang memanjang (bukan memanjangkan kuku) karena setiap hari kucium sebelum
berangkat sekolah dan setelah mendapat jatah uang jajan. Tapi, sekarang tak
lagi kucium. Tangan ibu telah jauh dari hidung dan keningku.
Ibu memberiku nama Sifi. Entah karena bidan yang membantu persalinan
bernama Sifi (sebagai tanda jasa, mungkin) atau karena ibu menginginkanku kelak
menjadi seorang bidan. Yang kutahu ibu tak menginginkan nama “Nadia” untukku.
Nama pemberian ayah yang ibu anggap terlalu pasaran bagi anak kelahiran ’95. Sekarang
namaku Sifi bukan Nadia, tapi aku juga tidak kuliah di akademi kebidanan
(seperti impian ibuku, mungkin).
Aku mengirim diri ke kota ini. Berbekal harapan dari ibuku yang tidak
meminta apapun. Tapi dari kalimatnya dia menginginkan baju seragam untukku
pakai nanti. Seragam coklat kekuningan atau kuning kecoklatan yang di sisi bahu
kirinya berlogo pemerintah daerah.
“Mak ni lulusan SMA saja Nong,
tak punya seragam macam Acik-mu.
Perempuan sekarang sudah maju, sekolah lah tinggi-tinggi. Memang perempuan
tugasnya nanti di rumah macam Mak, tapi tak salahlah kalau anak perempuan Mak
nanti punya seragam coklat kuning itu”.
Di ruang ini, dengan jarak satu meter aku sedang memperhatikannya.
Menilik sosok ibu pada dirinya. Ibuku tak berkaca mata, tapi dia ia. Mungkin
jika ibu kuliah sampai S3, ibu juga pasti akan berkaca mata dan akan sepintar
dia. Ya, kurasa seperti itu. Ibuku berlogat Melayu asli, tapi dia berlogat
Jogja. Ibuku tak memiliki baju dinas, dia pun tak berbaju dinas, tapi
dihadapanku seperti ini, kulihat ibuku berbaju dinas.
Pontianak, 16 Maret 2016
Comments
Post a Comment