Napak Tilas Pembangunan Jembatan Belian
“Nak
kemane ye?”
“Nak
ke sibarang.”
“Dulu,
tegur sapa yang bermakna menanyakan tujuan hendak kemana seperti itulah yang sering
terdengar di Dusun Dagang Barat” kata Pak Hadini (45), Kepala Dusun Dagang
Barat, ketika membuka cerita di rumahnya. Ketika seseorang melihat temannya
mendayung sampan ke arah Dagang Timur, maka akan ada tegur sapa yang mecirikan
kehidupan orang dusun. Lain dulu, lain sekarang. Jembatan dari kayu belian
telah berdiri kokoh di atas Sungai Teberau. Warna kuning dan biru laut yang
dioleskan di setiap jengkal kayunya menambah pesona jembatan penghubung dua
dusun tersebut. Sekarang tak ada lagi dayung-mendayung sampan. Masyarakat tinggal
berjalan kaki, maka dalam hitungan menit kaki telah menginjak dusun yang
berbeda.
Jembatan Belian merupakan jembatan yang terletak di Desa Lubuk Dagang,
Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas. Fungsinya sebagai penghubung dua dusun
yaitu Dagang Barat dan Dagang Timur yang terpisah oleh Sungai Teberau, ternyata
sangat membantu masyarakat di sekitarnya.
“Jembatan ini memudahkan anak-anak yang akan pergi ke sekolah. SD Negeri
24 kan terletak di Dagang Barat. Nah, anak-anak dari Dagang Timur tidak perlu
diseberangkan lagi dengan perahu setiap pagi dan siang. Sekarang mereka
berduyun-duyun pergi ke sekolah melalui jembatan ini.”
Pak Hadini menambahkan bahwa ternyata jembatan belian juga merupakan
alternatif yang digunakan orang di luar Desa Lubuk Dagang, ketika Jembatan Asam
mulai macet.
“Biasanya kalau ada acara pernikahan di depang gang, Jembatan Asam yang
di depan (gang) akan macet. Nah, orang-orang dari luar akan memanfaatkan
jembatan belian ini sebagai alternatif untuk menuju Desa Dalam Kaum ataupun
Desa Angus.”
Jembatan yang menghubungkan dua dusun tersebut merupakan jembatan yang
diidam-idamkan masyarakat Desa Lubuk Dagang sejak dulu. Tahun 2000, pemerintah
mulai mencanangkan pembangunannya. Akan tetapi, tahun 2008 baru dapat dilaksanakan.
Di ruang tamu yang penuh dengan foto keluarga, Pak Hadini memaparkan asal mula pembangunan jembatan tersebut.
Di ruang tamu yang penuh dengan foto keluarga, Pak Hadini memaparkan asal mula pembangunan jembatan tersebut.
“Sebelum Jembatan Belian ini dibangun pada tahun 2014, tahun 2008 sudah
pernah dibangun Jembatan Nibung. Jembatan Nibung merupakan hasil swadaya
masyarakat yang sebenarnya menjadi tamparan untuk pemerintah. Disebut Jembatan
Nibung karena berasal dari kayu nibung yang dicari di hutan.”
Sayangnya belum lima tahun berdiri, Jembatan Nibung sudah hampir roboh
dan sangat mengkhawatirkan karena kayu nibung memang tidak tahan lama. Pak
Hadini memperlihatkan perbedaan foto Jembatan Nibung yang baru dibangun dan
hampir roboh di album dokumentasinya. Jembatan Nibung lalu dibangun kembali
dengan nama jembatan belian karena berasal dari kayu belian.
“Kayu-kayu untuk membangun jembatan belian sebagiannya diambil dari
kayu hasil pembongkaran Jembatan Sabo’ dan sebagiannya lagi dibiayai pemerintah.”
papar Pak Hadini sambil membetulkan posisi kopiahnya.
Jembatan yang warnanya didominasi biru dan kuning pada posisi tengahnya
didirikan tempat peranginan. Tempat peranginan itu berfungsi untuk tempat
bersantai pada sore-sore hari.
“kalau sore, di jembatan akan ramai, banyak orang bersantai.
Kadang-kadang juga orang dari luar datang untuk berfoto dengan latar sungai ataupun
jembatan itu sendiri.” Ungkap Kepala Dusun Dagang Barat.
Jembatan penghubung dua dusun tersebut ternyata memiliki banyak fungsi.
Tak hanya untuk masyarakat sekitar, namun juga untuk orang luar. Pembangunan
jembatan yang telah direncanakan secara matang paling tidak selama empat belas
tahun, seharusnya menjadi bangunan kokoh yang mampu mengemban fungsi memudahkan
aktivitas masyarakat. Untuk menjalankan fungsinya, maka masyarakat juga harus
bertanggung jawab dan menjaga kondisi jembatan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Comments
Post a Comment