Karangan Bunga Duka
Suamiku,
Elri masih duduk di kursi ruang tamu yang menghadap ke arah jalan ditemani
cerutu dan segelas teh yang kubuatkan tadi saat sarapan. Biasanya sepagi itu
dia sudah mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Entah apa yang sedang dipikirkannya, matanya
memandang jalan tapi pikirannya jauh melayang.
“Bapak
tidak pergi ke kantor hari ini?” tanyaku saat berada di ruang tamu untuk
menyapu dan membersihkan rumah.
“Iya,
sebentar lagi,” jawabnya sambil menghisap cerutunya dengan napas panjang tanpa
mengubah sorotan pandangan.
“Ini
handuknya, sudahlah Pak, jangan terlalu dipikirkan lagi mungkin...,” suaraku
tertahan ketika suamiku mengambil handuk dari tanganku dan langsung berjalan ke
arah dapur tanpa memandangku.
Aku
bahkan sudah lupa kapan terakhir suamiku menghisap cerutu, mungkin sebelum Aldi
anak pertama kami lahir, dan kejadian tadi membuatku sangat terkejut, perangai
kasarnya menjadikanku tak bisa berkata
apa-apa.
Aku
membiarkan semuanya tampak baik-baik saja, membereskan rumah seperti biasanya,
menyiapkan perbekalan Rafli yang sudah SMA, dan mengurus si kembar, Dika dan
Diki, anak ketiga dan keempat kami yang sekarang menginjak kelas tiga SD. Aku masih menjadi istri yang baik untuk
suamiku sama seperti dulu, sebelum kejadian naas itu mampir di telingaku. Aku
masih menyiapkan makannya tiga kali sehari dengan menu yang sehat, berdandan
menarik, dan mengurus rumah dengan telaten. Aku bahkan masih menjahit baju-baju
pesanan orang untuk mengisi kesibukanku sehari-hari, tidak ada yang berubah
dariku, sama seperti dulu.
Suamiku
tidak tahu, ada hatiku yang juga sama mendungnya seperti dia. Aku hanya bisa
menyembunyikan, tak bisa kuusir keluar bahwa aku juga sangat kehilangan buah
cinta kami yang pertama. Diam-diam di antara sibuknya suara mesin jahit,
butir-butir bening yang hangat ini keluar dari persembunyiannya menitik pada
potongan kain di tanganku. Aku menghapus sisa air mata itu dengan cepat, aku
tak ingin berlarut lagi dalam kesedihan. Sudah cukup sebulan itu—masa yang
terlalu lama aku mengembalikan semuanya seperti semula. Tapi sekuat itu juga
membuatku merasa lemah menyembunyikannya, bahwa aku baik-baik saja. Masih
terekam jelas dalam ingatanku pada suatu subuh ketika Aldi duduk di kursi dekat
ruang tamu menekuri soal-soal prediksi ujian SMA-nya dan aku yang terbangun
untuk salat subuh, aku hanya tersenyum melihatnya dan kembali ke kamar. Aku
juga masih ingat ketika dia telah lulus SMA dan mengatakan padaku bahwa dia
ingin mendaftar masuk polisi, tapi Elri tak mengijinkannya.
“Kau
tahu, Polisi adalah instansi yang paling bobrok di Indonesia, kau mau masuk ke
situ? Kau mau Bapakmu membiarkan anaknya bergulat dengan uang haram? Tidak kah
kau lihat polisi-polisi yang telah jadi itu seperti apa? Tidak Aldi! Masih
banyak pekerjaan lain yang bisa kau jalani, nanti ku kirim saja kau ke Jawa,
kuliah di sana!” Elri mengeraskan suaranya membuat Aldi menjadi takut
“Ta..ta..pi,
Pak. Tidak semua polisi seperti itu, ada juga yang baik,”
“Apa
sebenarnya alasanmu ingin sekali masuk ke sana Aldi, masuk polisi itu terkenal
dengan penyuapan, bahkan kalau kau sendiri lulus murni pun akan dicap menyuap
petugas oleh orang lain. Kalau orang yang baik pasti tidak akan masuk ke dalam
mulut harimau yang sudah jelas membahayakan dirinya Nak. Sudahlah, nanti kau
kuliah saja ke Jawa!”
Aku
melihat wajahnya yang sendu karena tidak diijinkan oleh Elri. Tapi, menurutku
pendapat Elri memang benar. Aku setuju. Terbayang juga wajahnya ketika akan
pamit merantau ke pulau Jawa, hatiku berat, tapi aku tau bibinya juga ada di
sana dan dia bisa menginap sementara waktu saat mendaftar kuliah. Bayang-bayang
dia pulang lebaran tahun lalu ke rumah ini juga masih menyelinap masuk. Setelah
beristirahat sejenak, dia bergegas mencari parang di dapur dan pergi ke
belakang rumah untuk mengambil buah kelapa, dia menyukai air kelapa muda, segar
katanya. Aldi yang menginjak awal dewasa juga aku pahami, tahun lalu dia
membawa pacarnya ke rumah, mengenalkannya kepadaku dan Elri, temannya dulu
ketika masih SMP. Aku tak berkomentar apa-apa, aku hanya memahami sebagai ibu
bahwa anakku mulai dewasa dan ingin berkasih sayang layaknya pemuda seumurnya.
Sampai akhirnya terngiang lagi kabar itu di telingaku, Aldi hilang di gunung.
~~~
Layna
membuat pagi ini menjadi kecut oleh ucapannya. Rasanya aku ingin bergegas pergi
ke kantor dan meninggalkan ingatan itu sejenak di rumah. Maka, ku ambil handuk
dari tangannya dan tak menggubris apa yang dia katakan. Aku berulang kali ingin
melupakan kesedihan itu, tapi tak cukup dengan tak kupikirkan. Semakin aku tak
memikirkan, maka aku semakin mengingat. Ucapan Layna menjadi ucapan yang sangat
basi di telingaku tadi. Kuambil cerutu setelah sarapan dan menghisapnya
dalam-dalam. Aku lupa kapan terakhir aku menyentuh benda ini karena kupikir tak
ada manfaatnya lagi. Apalagi kalau dilihat oleh Dika dan Diki yang masih kelas
tiga SD, tidak baik untuk mereka. Mungkin dengan menghisap cerutu pagi ini bisa
menenangkanku. Tapi aku salah, hari inilah terakhir aku menyentuhnya, cerutu
tak bisa menenangkanku.
Aku
sangat heran dengan sikap Layna yang seolah-olah menganggap semuanya tidak
terjadi apa-apa. Apakah sebagai seorang ibu dia tidak merasakan kehilangan
anaknya. Mungkin bagi Layna sudah sebulan berlalu, untuk apa dipikirkan lagi
bahkan yang pergi juga tidak bisa kembali bila terus ditangisi.
Bapak
mana yang merasa biasa saja kehilangan putra pertamanya? Kehilangan adalah luka
yang tak sederhana. Walau kadang aku terlalu keras mendidiknya, itu karena aku
ingin, dia tangguh menjadi laki-laki. Aku sebenarnya cemburu kedekatan dia dan
Layna, tak sedekat hubunganku sebagai seorang ayah. Ya, mungkin anak laki-laki
memang lebih dekat kepada ibunya. Tapi terkadang aku merasa iri dengan teman
kantorku yang sangat akrab dengan putranya, menjadi teman ketika olahraga
bersama. Apa aku terlalu menutup diri sebagai seorang bapak Atau aku terlalu
tua untuk bersahabat dengan anakku? Aku membiarkan semua berjalan sebagaimana
biasanya.
Kuberi
nafkah dengan harta yang halal dari hasil kerjaku. Kudidik dia dengan caraku,
walau pernah ada perlawanan keras, dia minggat ke rumah neneknya, Layna
berusaha membujuknya pulang. Lalu kularang dia terjerumus masuk polisi,
lingkaran permainan uang di instansi pemerintahan, cukuplah menandakan bahwa
aku menyayanginya sebagai bapak kepada anak, lalu kukuliahkan dia ke Jawa untuk
menuntut ilmu di sana, hingga akhirnya menjadi hal yang amat ku sesali hari ini.
Aldi menjadi hobi mendaki gunung dan alam merampas nyawanya.
~~~
Saat
kutinggalkan tadi pagi, kulihat Ibu sudah seperti biasa mengatur rumah tangga.
Tetapi bapak masih bermuram durja di ruang tamu. Aku melangkah gontai, setelah
sarapan dan pamit aku langsung pergi ke sekolah. Masing-masing orang di rumah
melukis mendung di hatinya. Aku melukis kelabu atas kematian abangku. Mungkin
tidak pernah diketahui oleh Bapak dan Ibu. Sebelum dipisahkan jarak, dia sebagai
anak pertama dan aku anak kedua, kami seperti sebaya tak ada bedanya. Tapi,
setelah kejauhan mengajarkan, dia cukup dewasa untuk kuanggap sebagai abang.
Berita hilangnya dia di gunung menembus ulu hati, apalagi Ibu, yang sangat
dekat dengannya pasti sangat kehilangan. Terkadang aku cemburu melihat dia dan
ibu begitu akrab, tidak seperti aku. Sebulan lalu tak ingin kuingat lagi. Aku Rafli,
kini satu-satunya abang Dika dan Diki. Aku ingin menjadi penyembuh walau
kadang-kadang mendung itu juga bisa kambuh.
~~~
Semua
merasa sedih karena (katanya) kehilanganku. Padahal aku baik-baik saja bahkan
aku ada di rumah. Aku tersesat di gunung tapi aku tiba-tiba diarahkan jalan
pulang ke rumah. Aku tidak perlu membeli tiket untuk naik kapal atau naik
pesawat. Dekat sekali rasanya jarak rumah dan gunung tempat kumendaki kemarin.
Hari ini aku melihat dengan jelas, seperti biasanya Ibu yang sudah cantik
setelah mandi menyiapkan sarapan dengan sempurna. Ibu menyapu ruang tamu dan
memberikan handuk kepada Bapak, tapi percakapan mereka tidak satupun yang
terdengar olehku. Aku hanya bisa menangkap warna tiap hati mereka. Ibu, Bapak,
Rafli, dan Dika Diki yang masih terlalu buram untuk kupelajari. Bagaimana aku
akan mengatakan kepada Ibu, bahwa aku sedang di sampingnya ketika dia menjahit
baju-baju itu. Aku ingin sekali menghapus air matanya yang menitik ke potongan
kain, tapi ibu terlalu cepat menghapus sendiri. Sudahlah Ibu, kau jangan
menangis. Aku dekat sekali denganmu. Kutemui bapak di ruang tamu, mungkin ini
kebiasaan barunya menghisap cerutu. Bapak menghisap cerutu dalam-dalam,
kutepatkan tubuhku pada pandangannya. Tapi tatapannya kosong, aku melambai-lambai
tapi percuma saja, bapak tidak melihatku, pandangannya kosong. Aku juga jelas
melihat Rafli sering ke loteng atas memastikan aku ada di sana atau tidak.
Padahal aku tidur di kamar bawah menemani Dika dan Diki. Semuanya tidak
melihatku, padahal aku jelas-jelas melihat mereka. Aku tak mengerti kemendungan
yang dilukis orang di rumahku ini. Kesedihan ibu, kemurungan bapak, dan
pencarian Rafli, sampai kulihat karangan bunga duka yang sudah kusam oleh debu
di pojok garasi tertulis jelas namaku di sana.
Comments
Post a Comment