Suatu Subuh di Penghujung Ramadan
Sepuluh
hari terakhir ramadan pada lima belas tahun yang lalu, petuah itu tiada
bergeser sedikit pun dari ingatanku. Ketika subuh akan menggelar sajadahnya,
embun mengurai titik-titiknya pada setiap benda yang terpapar di atas muka
bumi. Pelita di halaman yang berjejer rapi itu meredup. Tertiup angin lembut,
membakar sumbu, menyala, lalu meredup, dan selanjutnya, sampai ia paham bahwa
minyak tanah telah habis dalam kantung bambunya.
Aki
sudah duduk di teras rumah, memandang pesona subuh empat hari terakhir bulan
ramadan di kampungku. Ia memantik korek api dan menyalakan rokoknya
menghabiskan sebatang rokok terakhir penutup sahurnya. Rokok kompas yang
berkotak putih hijau bertulisan biru adalah merk favoritnya, hingga nanti aku
mengerti, aroma rokok akan membuatku rindu. Matanya memandang pelita depan
rumah, aku biasa menyebutnya obor karena terbuat dari bambu yang
dipotong-potong beruas-ruang.
Di
Sambas, kampungku lima belas tahun lalu, sepuluh hari terakhir bulan ramadan,
membuat obor sangat populer dan digemari setiap masyarakat Melayu karena
ramadan akan sangat terasa napas dan denyut nadinya. Aku mendekati Aki, layaknya anak yang berusia lima tahun, aku
terpukau dengan dengan asap yang keluar dari hidung Aki. Aku memintanya
berulang kali sebelum datang waktu imsak. Aki tersenyum dan tangannya menunjuk
pada sebuah obor seberang jalan di depan rumah tetangga. Aku memperhatikan
dengan seksama, obor itu bermain dengan cahayanya, meredup, menyala terang,
meredup, lalu mati, kembali menyala kecil, terang, meredup, dan terang kembali.
Awalnya aku berpikir itu angin malam saja sebelum subuh benar-benar
berkumandang.
“Ada
Atukmu yang ingin dikirimi doa dari uyutnya”
“Hanya
angin saja, Aki” aku mulai takut.
“Kalau
angin, dia akan padam dan tidak akan menyala lagi, kirimkan Alfatihah untuk Atuk
Jaya-mu,” jawab Aki tenang.
“Tidak
usah takut, kau hafal Alfatihah kan Zhaf?” lanjut Aki.
“Hafal
Aki,” jawabku sembari membaca basmalah dan Alfatihah dengan suara nyaring di
suatu subuh.
“Kalau
kau merasa terganggu dan merasa janggal pada jam-jam malam seperti ini, itu
berarti ada keluarga yang sudah meninggal minta disedekahi ayat,” Aki mematikan
rokoknya pada asbak aluminium berwarna perak yang sudah lusuh, dia tahu bahwa
imsak telah menemui waktu.
“Apalagi
bulan puasa seperti ini, malam besok malaikat bertaburan, tiga hari terakhir
bulan ramadan, sangat ditunggu-tunggu biasanya ada laylatul qadar, kau baca saja ayat yang kau bisa Zhaf,” Aki menoleh
kepadaku.
“Laylatul qadar itu apa Aki?” tanyaku
lugu.
“Laylatul qadar itu, malam yang sangat
baik dari malam apapun, malaikat turun ke bumi masuk ke dalam rumah orang-orang
yang baik, dan malaikat juga mendoakan orang yang empunya rumah,” jelas Aki
“Malaikat
itu jahat atau baik Aki?” aku bertanya lagi.
“Malaikat
itu baik, mereka berasal dari cahaya,” jawab Aki.
“Zhaf
besok ingin banyak-banyak baca Alfatihah Ki supaya rumah Aki didoakan
malaikat,” jawabku sambil tersenyum.
Aki
mengusap ubun-ubunku, lalu berdiri dan mengajakku bersiap-siap untuk berwudhu.
Aku dengan mata bolaku mengikut saja ke arah aki. Ada ayah yang sedang mengaji di ruang tamu sambil menanti
adzan subuh, Wan dan Ibu menonton drama Malaysia “Nurhayati” di ruang tv.
Aki suka bercerita kepadaku karena
aku cucu satu-satunya yang masih tinggal serumah dengannya. Aki senang
mendongeng kancil, monyet, buaya, pelanduk, kura-kura dan hewan lain. Aki juga
senang menceritakan kisah pak Saloi, Pak Kiding, Nabi-nabi, dan cerita-cerita
zaman dahulu. Aku selalu terpukau dengan cerita Aki. Subuh itu, di perjalanan
menuju surau Aki bercerita tentang Khatib Sambas yang mendapatkan laylatul qadar ketika sedang berwudu.
Kopiahnya diletakkan pada pohon kelapa yang merunduk, tetapi ketika selesai
berwudu Khatib Sambas kebingungan mengambil kopiahnya yang berada di atas pohon
kelapa tegak.
“Nanti
Zhaf juga dapat laylatul qadar Ki,”
kataku polos.
“Amin,
semoga Allah melimpahimu keberuntungan seperti namamu, Zhaf,” jelas Aki, sambil
mengusap mukena ku yang kebesaran.
Namaku
Zhafira, Aki yang memberiku nama, artinya keberuntungan. Keberuntungan karena
aku satu-satunya anak ibu dan ayah yang lahir selamat, walau dokter sebelumnya
sudah mengatakan bahwa aku meninggal di dalam perut, sama seperti kedua saudara
sebelumku mereka keluar dengan dikuret. Tetapi aku beruntung, jantungku
berhasil berdenyut lagi sehari sebelum aku dikuret. Aku tidak bisa membayangkan
kesakitan ibu mengeluarkan kedua kakakku.
~~~~
Aku
mendapati subuh ramadan kali ini yang ketujuh tanpa Aki, tanpa dongeng, dan
cerita laylatul qadar juga
malaikatnya. Tapi Sambasku masih menawarkan panorama subuh yang sama dengan
lima belas tahun yang lalu, saat aku pertama kali mendengar petuah itu. Tentang
cahaya pelita yang mengambang antara menyala dan padam.
Setiap
sepuluh hari terakhir bulan ramadan, Wan selalu meminta ayah memasang obor di
halaman rumah. Aku senang ikut ayah ke kebun belakang mengambil bambu,
memotongnya beruas-ruas, memasang sumbu dan mengisi minyak tanah. Aku merasa
dekat dengan Aki ketika dingin subuh masih menusuk tulang, di hari ketiga
terakhir ramadan tahun ini. Aku duduk di tangga rumah mengenakan jaket biru
memperhatikan obor-obor yang masih menyala. Mereka melawan angin dan tetesan
air langit yang mengembun. Diam-diam aku merindukan Aki, cerita-ceritanya, kuku
yang bergaris-garis, dan aroma rokok kompas yang khas.
Obor
yang terletak di samping pohon mangga mengambang cahayanya, padahal obor lain
menyala terang. Obor itu meredup sedikit demi sedikit lalu padam. Batinku
mengatakan itu Aki, aku menyedekahi Alfatihah dalam hati. Aku mengusap wajahku
dengan telapak tangan, kudapati obor itu sudah terang kembali, kata Aki itu
cahaya malaikat bertaburan di suatu subuh penghujung ramadan.
Comments
Post a Comment