Sejingga Bianglala

Siang ini matahari bersinar garang seolah-olah dia ingin mengatakan dengan bangganya Akulah Si Raja Panas Sedunia namun, tak berselang lama panas matahari tak lagi dirasakan oleh para siswa SMA Teladan Bangsa. Cuaca tiba-tiba mendung mungkin sang jagoan malu, para siswa tak bergeming oleh panas teriknya siang ini dan sangat bersemangat menyimak informasi tentang libur panjang. Begitulah kebiasaan anak sekolahan, informasi tentang libur panjang seolah-olah begitu penting. Telinga-telinga yang biasanya ditinggalkan di rumah dan di kocek dalam saku celana semua terpasang dengan rapi plus sempurna hanya untuk satu makna “LIBUR PANJANG”.
      ‘Horeeeeee!!!!!” suara para siswa menggema, membahana, melanglang buana mendengar informasi dari Waka Kurikulum, libur panjang semester ini terjadwal selama lima belas hari.
      Barisan pun bubar, keluhan-keluhan panas yang sebenarnya harus terlontar sedari tadi memulai episode pertamanya. Seorang adik kelasku yang terlihat bahagia dari sorot matanya dan sumringah senyumnya sedang menghitung betapa lamanya jika libur panjang dihitung dalam hitungan detik.
      Hah…!!! Tingkah yang sangat lucu.
      Seseorang mendekatiku, aku sangat mengenal cara berpakaiannya, satu kata untuknya “anggun”. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang tak tahu apa yang terjadi namun, aku sangat menyukai peristiwa ini yang mulai menyelimuti relung hatiku semenjak aku sekelas dengannya, enam bulan yang lalu. Membayangkan senyumnya sekonyong-konyong aku sedang di surga dengan para dayang istana di jatuhi balon-balon berbentuk hati berwarna merah jambu.
      Hah…!!! Awas ya pikirannya macem-macem.
      Zakiya Nisrina namanya. Cantik orangnya, lembut budi bahasanya, dan baik juga hatinya adalah teman sekelasku yang berhasil memenangkan juara pertama ajang pemilihan Duta Lingkungan Hidup se-Provinsi yang mewakili sekolahku tahun ini mengajakku dan teman-teman sekelasku untuk berlibur ke rumah neneknya di daerah puncak. Sayangnya, aku tidak dapat ikut. Aku, Arya, Andika, Davi, Reno sudah sepakat akan berlibur ke desa paman Arya. Sejumput rasa kecewa menyelinap masuk ke ruang hatiku.
      Zaza panggilan akrabnya berlalu dengan senyum madu, setelah aku meminta maaf tidak dapat memenuhi ajakannya.
      Ahh Ikrar parah nih !
Hari semakin mendung dan hujan pun turun.
~**~
      Pohon-pohon masih rimbun dan udara masih segar di desa ini. Kebiasaanku untuk mandi di pagi hari tak dapat kuhilangkan walau aku berada di planet Mars sekalipun, itupun kalau di sana ada air.
      Wex.. Ikrar memulai harinya dengan celoteh-celoteh tak bermartabat.
       Setelah mandi, aku dan Arya cs menyantap sarapan yang dihidangkan oleh istri paman Arya. Gulai kangkung, sambal terasi, dan gurame bakar kami lahap dengan semangat. Tak terasa dua hari telah terlewatkan namun, kami belum berjalan-jalan melihat keasrian desa ini. Sore yang cerah, aku dan Arya cs duduk di warung kopi “Pak Long Abun”, keanehan-keanehan mulai ku lihat, ku dengar dan ku rasakan. Pak cik Udin yang duduk berseberangan dengan Andika sedari tadi ku lihat menggaruk-garuk tangannya yang penuh dengan bintilan-bintilan kecil berwarna merah dan sedikit berwarna putih seperti nanah pada ujung bintilan kecil itu. Aku bergidik geli. Pak Aslimun di depan Pak cik Udin pun bertanya setelah melihat keadaan Pak cik.
      “Sudah berobat kau Din?” Pak Aslimun menyeruput kopinya
      “Sudah Mun, dari salep pi kang shuang, minyak intangor, minyak rajawali, minyak gandapura, air PK, minyak gajah dua, gajah duduk, gajah berdiri, sudah semua Mun tapi, kau lihat hasilnya?” jelas Pak cik yang hobinya memang bercerita dengan nada meledak dan menyala-nyala.
      “Maksudku ke dokter atau ke mantri paling tidak Din?” Pak Aslimun bertanya lagi tapi kali ini sambil mengisap rokoknya.
      “Sudah Mun, aku berobat ke Mantri Agus di dekat pasar itu,” jawab Pak cik pendek.
      Pak Aslimun yang memang orangnya tidak senewen lalu manggut-manggut. Pak ngah Jaya tiba-tiba muncul.
      “Air sungai di desa kita ini tak boleh dikonsumsi lagi untuk mencuci, untuk mandi, apalagi untuk makan minum,” jelas Pak ngah Jaya
      Namanya terpampang jelas di pin pengenal nama baju dinas hansipnya. Anehnya, nama yang terpampang bukanlah nama asli tapi, nama panggilan sehari-hari “Ngah Jaya”. Aku tertawa geli.
      “Sungai kita sudah tercemar gara-gara penambangan emas di daerah hulu ditambah lagi sampah-sampah dari daerah hilir, akibatnya warga menderita penyakit seperti ini,” serobot bujang Pendi, karyawan Pak long Abun di balik nampan kopinya.
         Aku dan Arya cs tak berkutik mendengar debat kusir tak jadi itu. Aku tak melihat tanda-tanda penyakit itu menyerang keluarga paman Arya, karena memang di rumahnya menggunakan air PDAM, aku pun menghela nafas lega yang artinya kemungkinan besar aku terbebas dari penyakit terkutuk warisan kaum Nabi Nuh a.s yang ingkar kepada Allah Ta’ala.
         Aku merogoh kocekku dan mengambil hapeku, ku cari di phonebook nama yang terlintas di pikiranku “Zaza”, tak lama kemudian nada sambungnya terdengar, lagu peri cintaku andalan penyanyi solo Marcel mendayu-dayu di telingaku berulang kali. Akan tetapi, panggilanku juga tidak dijawab, mungkin dia sibuk pikirku. Aku pun menyimak lanjutan diskusi tanpa mederator ini.
         “Ini harus diberitahukan kepada perangkat Desa Pak Long, Kepala Dusun, Kepala Desa, bila perlu ke Pak Camat,” serbu Pak Suasin
         Aku menahan nafas, mulai mengerti dengan titik permasalahan. Tiba-tiba hapeku berdering lagu Assalamualaikum dari Opick membuyarkan lamunanku. Di layar hapeku tertera nama “Zaza memanggil”
         Sapaan salam dengan suara kecil terdengar, aku pun menjawab salam tersebut dan menceritakan titik permasalahan kepada temanku yang satu ini, sebagai Duta LH dia selalu ingin terjun ke lapangan ikut membantu menguak peristiwa-peristiwa alam yang mulai bertingkah aneh ulah tangan para manusia nakal. Zaza sepertinya sangat berantusias dengan informasi yang kuberikan dan berencana akan ke desa ini besok pagi bersama teman-teman yang ikut ke rumah neneknya. Arya cs mulai menggodaku.
         Tuh kan Ikrar GR.
~**~
         Sinar-sinar jarum mentari menyilaukan. Pagi datang lagi namun, hari ini entah mengapa untuk menunggu pagi seolah-olah menunggu kura-kura berlari sejauh 40 km, aku mendesah.
         Akhirnya, yang kutunggu-tunggu datang juga. Ridho, Zhio, Alfa, Rizky, Aldy, Haura, Annisa, Zaza, Metha, Tiara, Anjani, Satya dan Irha mengucap salam.
         Jantungku lagi-lagi berdegup kencang, pesona Zakiya Nisrina kali ini benar-benar menyihirku. Seandainya kertas putih dan pena dihadapkan kepadaku maka, yang pertama kulakukan adalah menulis puisi. Ya puisi, khusus untuk gadis yang memiliki sinar mata bak batu ruby itu.
         Indah memang indah
         Senyum manis yang kau tawarkan
         Baris kata yang kau ucapkan
         Sinar mata yang kau pancarkan
         Aku dipenjara, dalam bait puisi yang kutuliskan
         Sangat madu, Zakiya Nisrina.
        
         Dahsyat, entah pujangga cinta mana yang merasukiku untuk menorehkan larik puisi seperti itu. Arya cs yang sedari tadi memperhatikan gelagatku menggodaku lagi. Zaza mengedipkan senyum manisnya. Senyum madu itu lagi.
         Tuh kan Ikrar mulai lagi deh.
         Setelah mendengarkan penjelasan titik permasalahan secara detail oleh Kepala Dusun yang tak lain adalah paman Arya, aku, Zaza cs, dan Arya cs berencana ke rumah Kepala Desa untuk membantu masyarakat agar bebas dari penyakit yang membuat bulu kudukku bergidik, darahku berhenti berdesir, dan syaraf-syaraf urat nadiku lenyap.
         Rencana-rencana utama didiskusikan di rumah Pak Kepala Desa, rencana sekunder akan ku jelaskan nanti saja kawan. Rencana yang pertama adalah melaporkan ke Dinas LH tentang air yang keruh, kuning gemuning seperti kopi susu dan seperti lumpur pijar. Ahh tak dapat ku jelaskan. Rencana kedua adalah melaporkan ke Polres setempat tentang kasus pendompengan ilegal di daerah hulu yang sialnya kandungan merkuri itu bergelayut jutaan kuman dan bibit-bibit penyakit kulit bahkan penyakit kanker jika air sungai itu masih dikonsumsi untuk makan minum, merambah ke aliran sungai perbatasan tiga desa tersebut. Lagi-lagi aku tak dapat menjelaskannya kawan. Huh. Rencana yang ketiga adalah membuat himbauan kepada masyarakat, menyadarkan masyarakat bahwa lingkungan harus dijaga agar tetap lestari.
         Rencana-rencana sudah dimatangkan satu-persatu bahkan masalah lapor-melapor ke Dinas LH dan Polres setempat telah berlalu namun, sudah hampir tiga hari tak ada satu pun tanggapan terhadap perkara ini. Satu-satunya jalan terakhir adalah melaporkan hal ini kepada para petinggi Kabupaten.
         Kebiasaan yang tak jelas juntrungannya, itulah aparat penegak hukum di Indonesia yang konon katanya tak ada uang tak jalan, tak diberi mandat oleh atasan, sulit bagi mereka untuk bergerak maka, satu-satunya jalan agar mereka menanggapi problema ini dengan serius adalah kita harus mengadu, memohon, meminta dan mengemis kepada petinggi Kabupaten untuk memerintah mereka agar menanggapi hal ini. Aduhai miris hatiku.
         Setelah bersusah payah akhirnya, hal ini ditanggapi juga namun, semestinya bukan akhirnya tapi memang harus. Dinas LH meminta masyarakat tidak lagi menggunakan dan mengonsumsi  air sungai untuk sementara waktu, pemerintah memberikan bantuan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari,  polisi pun dengan gencarnya menangkap orang-orang yang masih bersangkut-paut dengan tambang-menambang emas di daerah hulu. Alat-alat dompeng-mendompeng disita, semuanya diserahkan kepada yang berwajib. Akibat merekalah masyarakat desa sekitar 60% menderita penyakit kulit akut nan tak tertahankan, penyakit itu meracuni seluruh tubuh masyarakat. Garukan-garukan tajam yang mereka sapukan seakan-akan itulah obat kulit paling mujarab tapi, salah kawan, kuman-kuman yang bersembunyi di balik bintilan kecil itu menyebar cepat bak flu burung ke seluruh tubuh apabila gerakan itu tiap kali berpindah tempat dan semakin gatal saja kawan  rasanya jika tak menggaruk.
         Aku mengerjapkan mata.
         Anak Pak cik Udin, Si Kokom, kawan. Kujelaskan betapa hancurnya hati kalian melihat jemarinya yang bertambah parah, berdarah-darah dengan bau busuk dan jemari yang tak dapat difungsikan untuk apapun. Obat bermacam obat sudah diusahakan namun, hasil masih satu kurang satu, karena puncak problema penggunaan air sungai masih dilakukan. Kasihan bocah kecil dua belas tahun itu.
         Tinggal rencana terakhir, membuat slogan dan himbauan-himbauan untuk menyadarkan masyarakat, membuang sampah pada tempatnya agar air sungai setidaknya tidak lagi berbau dan tak lagi seperti kopi susu adalah tugas kami dan organisasi pemuda, karang taruna desa.
         Bukan..!!!
         Bukan sekedar slogan atau himbauan-himbauan biasa. Coba kujelaskan kawan, aku tak pernah berkata jika itu tak pernah kucoba dan kulakukan. Itulah aku kawan “Ikrar Assyauqi”
         Matahari semakin terik saja, sedikit lagi pekerjaan kami akan selesai. Aku menarik nafas panjang. Rencana-rencana untuk membantu desa ini telah selesai namun, rencana sekunder yang kujanjikan, belum apa-apa kawan, kumulai saja belum. Kulirik Zaza di depanku yang baru datang dari membeli cat untuk himbauan-himbauan ini. Jantungku mulai bertingkah aneh lagi tapi, kali ini demi menjaga martabatku sebagai laki-laki, aku harus jujur-sejujurnya kepada gadis yang telah menawan hatiku dan menyita perhatianku lima bulan terakhir ini. Aku tak peduli apapun jawaban gadis bidadari itu tapi, aku yakin seyakinnya dia merasakan hal yang sama.
         Empat hari telah berlalu, rencana utama benar-benar terselesaikan dengan sempurna. Kondisi air di desa ini perlahan-laha mulai pulih seperti sedia kala, jernih. Ternyata tidak begitu lama untuk memulihkan keadaan seperti sedia kala, selama empat hari hujan mengguyur desa ini dan pendompengan emas sudah tak ada lagi, secepat itu. Keadaan masyarakat yang menderita penyakit kulit berangsur-angsur membaik. Saran dari Dinas LH dan himbauan dari kami memang masyarakat junjung dan lakasanakan.
         Tak terasa sudah sepuluh hari aku berada di desa ini tapi, rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki. Tak ada jalan lain, hari ini aku harus jujur kepada Zaza tentang hatiku tentang cintaku yang menggebu-gebu. Ku yakinkan rasa optimis cintaku akan disambut hangat oleh barisan kata manis dari bibir madu Zakiya Nisrina
         Aku berdiri tegak seperti pemimpin upacara di hadapannya, dia menatapku heran yang tiba-tiba mengajaknya duduk pada bangku yang tak jauh dari pohon jambu mawar, berhadapan langsung dengan kejernihan air sungai.
         Aku mengucap kalimat-kalimat yang telah kulatih semalaman. Bibirku sekan-akan kelu. Aku menahan nafas, senyuman Zaza nan madu membuat nyaliku ciut tapi, aku harus jujur tentang perasaan ini. Akupun jujur-sejujurnya, betapa tersiksanya aku akan perasaan ini tentang senyumnya, tutur katanya. Senyuman Zaza terlukis di bibirnya, aku menangkap sinyal positif, Zaza akan menerima cintaku. Hatiku pun berbunga-bunga namun, kesalahan fatal. Zakiya Nisrina meminta maaf kemudian menahan nafas.
         “Maaf Ikrar, ayah bundaku belum pernah mengajarkan hal ini, namun sebagai remaja aku mengerti, tapi sekali lagi maaf ikrar aku tak bisa. Biar kau anggap aku manusia zaman megalitikum atau insan munafik aku akan tetap dengan pendirianku, maaf ikrar aku tidak bisa,” jawaban Zaza hampir merontokkan tubuhku tapi, cerdas sekali jawaban itu seolah-olah dihapus dengan senyumnya kemudian berlalu, berlalu tak berbekas.
         Sealenia jawaban Zaza benar-benar membuatku merasa bodoh. Betapa optimisnya diriku akan mendapatkan cintanya. Hatiku benar-benar hancur, cintaku ditolak mentah-mentah tanpa pertimbangan, perutku yang memang dari semalam belum ku isi apa-apa karena melatih kalimat demi kalimat untuk gadis itu seakan mual di situ-situ saja, kepalaku rasanya mau pecah. Kemudian kuhadapkan pandanganku ke langit biru yang di hiasi sutra senja, menyentuh bianglala berwarna jingga merana, hatiku sekarang memang jingga, antara keberhasilanku membantu desa ini dan kegagalanku tentang cinta ini, aku gagal. Sejingga itu hatiku sekarang, benar-benar hancur, benar-benar remuk. Kusapukan pandanganku ke sungai, tak lagi kulihat jingga itu, kulihat air semakin jernih, putih, memutih, abu, kelabu, buram, gelap, hitam.
          Aku pingsan!!!

~*****~





Comments

Popular Posts