Pertemuan Pertama


Senin malam aku akan menjelaskan bahwa pada malam Senin aku kurang berhasil menyulap kata-kataku hingga selesai. Aku merasakan kekakuan di dalamnya yang tak sengaja oleh daya pikir menjadi terhenti seketika.
Minggu pada sore hari, inspirasi begitu menggebu, jari-jariku merindukan jentikan keyboard computer jinjingku yang anggun dengan pesona putihnya, aku menyayanginya, dia putri pertamaku, uang beasiswa yang kusisihkan untuk mengganti computer murahanku yang lama. Otakku terus diserbu ide-ide yang tak ketulungan banyaknya, aku mendapati itu ketika rasa malas menyergapku dari ujung ke ujung, aku kurang memahami hal yang seperti ini. Pada sisi lain aku merindukan gelas-gelas kosong yang akan kuisi dengan teko yang penuh kegirangan akan hal-hal lama yang begitu kurindukan “menulis”. Aku menghadapi hari yang penuh kemenangan kemarin.
Aku menyebutnya kemenangan, ketika di antara teman-temanku yang sibuk bermain dengan aksi permainan rakyat, aku mencoba dari sisi lain, bukan karena aku tidak suka, aku tidak ingin memilih hal dalam hidupku ketika semua ada unsur keterpaksaan walau itu secuil. Aku merasa bukan tak butuh, tapi lebih tepatnya aku tidak ingin, aku tidak ingin ketika aku menikmati tetapi hati di sisi lain aku mendongkol sendiri dengan kesibukanku yang tak jelas, dan akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti seminar sastra saja yang menghadirkan penulis besar seperti Bang Darwis Tere Liye oleh panitia Forum Lingkar Pena (diam-diam aku menyimpan perasaan jatuh cinta pada forum ini, dan aku ingin meminangnya agar diterima sebagai member. Aku tak suka menyebut kata anggota, rendah sekali kesannya. Tapi tak apa, anggap saja anggota). Kemenangan itu terjadi karena tidak ada satupun temanku dari prodi yang sama menghadiri acara ini, karena mereka terlalu sibuk dengan permainan mereka, aku memutuskan untuk menikmati kemenanganku sendiri, aku kira aku adalah orang beruntung dalam hal ini dari kebanyakan temanku.
Jujur saja aku sebenarnya tak berminat dalam organisasi, terkadang ada perasaan iri melihat teman-temanku (sewaktu SMA) menyibukkan diri dengan kepengurusan OSIS, itu hanya perasaan yang sementara saja, banyak yang mengatakan bahwa di dalamnya terdapat embel-embel “di dalam organisasi banyak ilmu yang akan kau dapatkan” dan aku tidak akan pernah mengingkarinya, aku menganggapnya itu adalah pendapat orang, bisa saja benar dan bisa saja tidak. Banyak ilmu jika kau melaluinya dengan penuh perhatian, tanggung jawab, dan ketaatan yang tak menipis. Organisasi hanya akan sia-sia jika kau melakukan ini dengan hati yang setengah, tidak totalitas, dan  seperdua loyal. Aku mengenal diriku, daripada aku menyesali karena sia-sia saja karena tidak total, aku memilih benar-benar tidak loyal, tidak pernah total, dan tidak dengan hati, untuk mengikuti organisasi yang dipersiapkan oleh program studiku. Ini pilihanku, dan aku tidak peduli orang akan bilang apa. Aku hanya tertarik dengan organisaisi kepenulisan yang tidak disediakan oleh program studiku, sayang sekali.
Pertemuan pertama dengan Tere Liye, aku menebak-nebak seperti apakah bentuk mukanya, aku hanya melihat spanduk di dinding panggung tercetak wajahnya, bermata sipit pandangan yang tidak focus ke depan dan dia seolah-olah ingin berkata dan huruf yang pertama ingin diucapkannya adalah “o” karena dalam gambar itu terlihat dia akan mengucapkan sesuatu dengan bentuk bibir yang bundar dan bulat, bukan malah tersenyum atau bagaimana seperti kebiasaan orang bergambar akan menunjukkan senyum termanis yang pernah ia miliki. Dia tiba-tiba seperti disulap hadir di depan dengan menggunakan kaos hitam yang bertulis “LIBRARIAN” dengan tulisan putih, hal itu kuketahui setelah ia melepaskan baju luarnya yang berwarna coklat kusam, dia membawa tas sebanyak dua buah dan keduanya juga ikut-ikutan berwarna hitam, penampilannya begitu santai menurutku, mungkin begitulah penampilan penulis-penulis sukses yang sederhana, seperti penulis idolaku, Pak Cik Andrea Hirata, penampilan memang tak begitu memengaruhi kualitas, tingkatkan saja pada kualitas, oleh karena itu aku selalu terpukau dengan kalimat yang diciptakannya, sekonyong-konyong aku hanya berada pada dunia kata-kata dan metafora yang menghanyutkan. Aku jatuh cinta pada karya Pak Cik, tapi diam-diam saja, cinta yang diam-diam itu penuh misteri dan mendebarkan. Aku kembali lagi pada pertemuan pertamaku, Tere Liye, suaranya ketika menjelaskan seperti menggunakan suara perut (ya bagus menurutku, dengan suara ini pembicara akan tampak sangat berwibawa, dan penuh kejelasan), serta dengan pengambilan nada pada awal berbicara, Tere Liye mengambil suara dua, menurutku ini yang disebut karakter suara, tak bisa dimanipulasi.
Kata pertama yang ia jatuhkan adalah apa alasan menulis baginya?
Baiklah, akan kucertitakan certa yang telah dijelaskan Bang Tere tentang persahabatan seekor burung pipit, kura-kura dan pohon kelapa, cerita ini adalah analogi tentang alasan ia menulis. Ketiga hewan ini telah bersahabat sejak burung pipit dan kura-kura masih di dalam telur, dan pohon kelapa masih berupa tunas, mereka telah bersahabat. Suatu ketika setelah dewasa dan besar mereka menjadi terpisah dan berkelana, dan akhirnya mereka bertemu kembali setelah 3 tahun terpisah, mereka bertemu di pinggir pantai, tempat pohon kelapa itu hidup. Mereka masing-masing menceritakan pengalamannya, si burung pipit mengatakan kepada kedua sahabatnya bahwa dia telah terbang mengitari berbagai desa yang masing-masing memiliki keindahan yang berbeda, persawahan yang luas, hutan yang hijau, serta pemandangan yang menakjubkan. Kedua temannya merasa terpukau dengan cerita yang dikisahkan oleh burung pipit. Kemudian si kura-kura menceritakan bahwa dia telah mengarungi samudera dan pernah menjamah benua yang berbeda dari yang sekarang, dia telah menemui manusia dengan kulit yang berbeda. Cerita pegalaman kura-kura ternyata lebih memukau daripada pengalaman si burung pipit, kedua temannya terkagum-kagum. Tiba akhirnya giliran si pohon kelapa, pohon kelapa tidak pernah bergeser satu senti pun dari tempat pertama ia hidup, bagaimana ia akan menceritakan pengalamannya, si pohon kelapa pun sedih, karena dia tidak bisa menjelajahi dunia ini dan ikut berkelana seperti kedua temannya. Mereka bertiga hening. Sebenarnya dari kisah tiga sahabat ini yang lebih menakjubkan adalah ceita tentang si pohon kelapa, memang benar pohon kelapa tidak pernah bergeser dari tempat ia hidup, jangankan berkelana keliling dunia, ngesot saja pohon kelapa tidak bisa, wkwkwkw :D, hakikat sebenarnya bahwa pohon kelapa dapat menghasilkan buah, buah yang berkualitas baik yang dapat bermanfaat bagi orang lain, pohon kelapa tak perlu berkeliling dunia, tetapi dia menghasilkan buah yang dapat didistribusikan ke penjuru dunia, bukankah bisa saja pohon kelapa yang dilihat oleh ski kura-kura di benua lain tunasnya berasal dari pohon kelapa tua sahabatnya itu, dan bisa juga pohon kelapa yang dilihat oleh burung pipit di hutan-hutan yang luas tunasnya juga berasal dari pohon kelapa tua, sahabatnya sendiri. Itulah hakikat mengapa setiap orang harus menulis, bahwa di dalam diri kita tersimpan kebermanfaatan bagi orang lain, bukan untuk dikenal, bukan untuk dapat banyak uang, tetapi alangkah baiknya jika hidup kita berguna bagi orang lain dan menginspirasi, bahwa menulis juga memanjangkan umur anda, walau bukan umur biologis, bukankah itu suatu keistimewaan?

Di bagian ini sebenarnya aku menolak menulis bagian ini, ini adalah suatu peristiwa yang mahal, ilmu yang kudapat dalam seminar yang kuhadiri. Bang Tere meminta kami untuk mencatat menjadi penulis yang baik itu seperti apa. Baiklah akan kubagi, karena ini bermanfaat bagi orang lain, maka tidak salah jika aku beberkan.
1.        Topic tulisan bisa apa saja, tetapi penulis yang baik akan selalu menemukan sudut pandang yang special.
Bang Tere meminta kami untuk menulis sebuah paragraph dengan kata hitam ada di dalamnya, 30 detik awal aku bingung harus menulis apa, dengan asal aku menulis “Mimpinya masih berkabut, hitam, belum terang, tak ada bayangan sama sekali” kalimat yang benar-benar bertele-tele, aku hanya ingin memanjangkan kalimat agar terlihat lebih panjang, dan aku ternyata bodoh, dengan kalimat itu aku menjadi tidak pede ketika masing-masing yang hadir minta dibacakan tulisannya oleh Bang Tere, aku megurungkan niatku, kalimatku benar-benar tidak special dalam segi apapun. Bang Tere tampak kecewa karena tidak ada yang menjelaskan kata hitam dengan sudut pandang yang berbeda, mereka merangkai kalimat dengan memaknai bahwa kata hitam itu-itu saja maknanya, kurang lebih dengan kalimatku yang tadi. Dia menceritakan bahwa ada seseorang yang pernah hadir dalam seminarnya menceritakan kata hitam dengan fokusnya sendiri dengan kalimat. “Si Hitam sering terlambat, ke sekolah terlambat, ke pasar terlambat, bermain terlambat, dan kemana-mana Si Hitam selalu terlambat, sehingga teman-temannya tidak ingin berteman dengan dia lagi, akhirnya Si Hitam tidak lagi hitam, dia menjadi putih, dan sehingga hitam tak pernah ada dalam warna pelangi” ya kurang lebih seperti itu, kuakui memang sudut pandang yang berbeda dan kami diminta untuk menulis lagi dengan kata hitam menggunakan sudut pandang yang special menurut kami. Satu menit pertama aku tak bisa menuliskan apapun, dua menit aku masih membisukan jariku, akhirnya aku menulis “Hitam membuat kesebelas teman warnanya menjadi sempurna. Temannya mengatakan bahwa tanpa hitam, maka tak akan ada harapan untuk menemukan pesawat Malaysia yang hilang (kotak hitam)”. Aku merasa puas dengan kalimatku, tetapi waktu untuk tulisan dibacakan oleh Bang Tere telah habis, dan aku tidak pede untuk meminta Bang Tere membaca kalimatku lagi. Ini adalah hal yang benar-benar kusesali dari kemarin, aku menemukan diriku dalam menulis kata hitam dalam bentuk yang berbeda, aku takjub dengan kalimatku, tapi aku tidak pede, tidak pede insya Allah akan kubasmi kawan, dia telah membuatku tidak merasa merasa tidak beguna.
2.       Penulis membutuhkan amunisi. Tidak ada amunisi, maka tidak akan pernah berhasil.
Amunisi disini diibaratkan peluru, ide-ide kita dari hasil pengamatan, penelitian, membaca, berbicara dengan orang lain dan sebagainya.
Bang Tere menceritakan temannya ketika kuliah banyak yang suka bola, dan membela tim bolanya masing-masing, dan kedua tim bola tersebut adalah musuh bebuyutan (tahulah siapa itu) ketika akan pertandingan dimulai, fans dari masing-masing tim bola tersebut saling menghujat dan saling merendahkan tim lawan, apalagi setelah pertandingan yang menyebabkan satu di antaranya menjadi kalah dan menjadi bulan-bulanan tim yang menang. Hal itu masih terjadi saat ini, itu cerita ketika dia masih kuliah, dan ada satu orang temannya memiliki cara pandang yang berbeda dan dia mengamati serta melihat pertandingan tersebut sebagai ide untuk menulis, temannya itu setiap selesai pertandingan bola di antara kedua tim tersebut dan tim yang lain juga, selalu membuat review tersendiri pada blognya tentang pertandingan tersebut. Setelah bertahun-tahun akhirnya penerbit menemukan tulisannya di dalam blog dan menghubungi temannya tersebut, bahwa hasil reviewnya sangat bagus, dan temannya diminta untuk menjadi review setiap pertandingan bola untuk majalah dan tabloid bola terkenal, dan pekerjaan yang dilakukan temannya bukan hal yang sia-sia tetapi menghasilkan atau dapat dikatakan produktif. Apalah gunanya saling mengolok-olok tim lawan, padahal hanya sebagai fans, bermain juga tidak, serta tidak menerima kekalahan dan mengalasankan sesuatu hal jika tertimpa kekalahan, coba kita melihat dari sudut pandang yang berbeda dan kita menulisnya akan lebih bermanfaat bagi diri sendiri. Itu menurut cerita Bang Tere yaa..
3.       Kalimat pertama adalah mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan dan menyelesaikannya lebih gampang lagi.
Jika kita telah memiliki amunisi dan mencari perspektif yang berbeda dari kebanyakan orang lain, maka kalimat pertama yang akan kita tuliskan adalah mudah, kemudian tulis saja apa yang ada dalam pikiran anda, gaya bahasa kita dalam segi penulisan kita adalah kebiasaan dan kepribadian kita juga, serta untuk mengakhiri penulisan lebih gampang lagi. Bang Tere menceritakan bahwa, novel Hafalan Shalat Delisa sebenarnya belum selesai, ketika Delisa mendapati tongkat kayu yang dipegang Ibunya, Bang Tere merasa kehilangan energy, padahal sebenarnya dia ingin menambahkan cerita bahwa kelak Delisa akan bertemu dengan Ibunya dan dia mengetahui apa sebenarnya hakikat hafalan shalat yang dipelajarinya. Tetapi dia benar-benar merasa kehilangan energy dan ceritanya masih menggantung lalu Bang Tere memutuskan untuk menulis TAMAT. Gampang bukan? :D
4.       Alah bisa karena terbiasa.
Ini adalah tips terakhir yang diberikan oleh Bang Tere. Ketika ada yang bertanya bagaimana cara membuat cerita yang hebat seperti pada novel-novel Bang Tere, bang Tere menjelaskan dengan memberikan analogi masakan sayur rebung buatan ibunya. Ketika pulang kampung, dia selalu dibuatkan sayur rebung yang sangat nikmat oleh Ibunya, dan dia bertanya kepada Ibunya “Enaknya sayur rebung buatan Mamak, Bagaimana cara mamak membuatnya?” Ibunya hanya menjawab dengan kalimat “ya dimasak-masak sajalah”. Tahun berikutnya dia pulang kampung lagi dan ibunya memasakkan sayur rebung lagi, dan dia masih bertanya bagaimana cara membuat sayur rebung yang enak seperti masakan ibunya, lagi-lagi Ibunya menjawab dengan “ya dimasak-masak sajalah”. Karena penasaran ketika Ibunya ingin memasak sayur rebung lagi, bang Tere diam-diam melihat ibunya memasak, dan memang benar Cuma dimasak-masak saja. Ya begitulah juga dengan menulis novel-novel Bang Tere, karena terbiasa menulis yang dimulainya sejak 9 tahun, menjadi bagus karena terbiasa menulis. Ketika ada pertanyaan bagaimana cara menulis hebat seperti Bang Tere, maka dia akan menjawab “ya ditulis-tulis sajalah”. :D

Ya ini hanya segelintir pengalaman, tidak dapat semuanya dituliskan tentang pertemuan pertama dengan Bang Darwis Tere Liye. Hehehehe. Semoga dapat ilmunya J

Comments

Post a Comment

Popular Posts